
Kendari, Inilahsultra.com- Mantan Presiden Indonesia Soeharto pernah menginjakan kakinya di Sulawesi Tenggara. Bahkan, presiden 32 tahun itu, sempat menginap di rumah jabatan Gubernur Sultra di Kota Lama Kendari.
Sayangnya, rumah yang pernah jadi saksi sejarah itu, nasibnya malang. Tak terurus, tak terawat, kondisinya kumuh reyot dan nyaris rubuh.
Letaknya tepat di sekitar bukit Vosmaer atau berjarak 30 meter dari rumah kediaman mantan Bupati Kendari (kini rujab Wakil Ketua DPRD).
Rumah yang di zamannya megah, kini tak terjamah. Rumah ini didirikan di zaman Gubernur Sultra pertama J Wayong pada Tahun 1964.
Saat Soeharto datang, Gubernur Sultra yang menjabat saat itu adalah Eddy Sabara pada 1971.
Salah satu saksi hidup kedatangan Soeharto adalah La Dana (62).
Sore itu, Sabtu 24 Maret 2017, saat dikunjungi di warungnya, La Dana sementara merebahkan badannya di kasur. Dia baru saja menunaikan tugasnya sebagai kepala rumah tangga, menjadi tukang di proyek pembangunan Jembatan Teluk Kendari.
Saat mendengar salam dari jurnalis Inilahsultra.com, La Dana dengan sigap bangun dari pembaringannya. Dia menjabat tangan dengan sopan sembari mengajak duduk di gazebo depan warungnya.
“Silahkan duduk, apa yang mau ditanyakan,” katanya sembari menanyakan identitas jurnalis.
Tubuhnya begitu bidang, rambutnya cepak, suaranya lantang. Dia mampu mengisahkan bait perbait perjalanan Eddy Sabara dan Soeharto datang di Kendari.
Pensiuanan Satpol PP Pemprov Sultra 2010 silam ini mengisahkan, rumah yang berada di depan warungnya itu adalah tempatnya saat ini bersama istri 10 orang anaknya.
Rumah yang memiliki luas 20×30 meter persegi itu adalah satu saksi keberadaan Sultra di mata Soeharto. Kala itu, Soeharto ke Sultra dalam kunjungan kerja.
“Saat itu pak Presiden Soeharto diterima langsung oleh pak Eddy Sabara dan menginap di rumah ini,” kata Dana sembari menunjuk rumah yang berada di seberang warungnya.
Saat itu, Dana masih berusia 12 tahun. Namun, dia sudah menjadi orang kepercayaan Eddy Sabara untuk mengurus rumah tangga gubernur. Mulai dari makan hingga pakaian gubernur.
“Saat itu, kita ada sekitar delapan orang. Ada dari Makassar dan dari sini,” ungkap Dana melanjutkan kisahnya.
Saat kedatangan Soeharto, seluruh pelayan dalam rujab gubernur mengenakan pakaian khusus, putih-putih.
“Mulai dari baju, sampai sepatu serba putih. Kita melayani presiden pada saat itu untuk makan malam,” katanya.
Meski sebagai orang dalam, bukan berarti mereka tanpa pengawasan dari paspampres. Mereka dikawal ketat.
“Pengamanan itu sangat ketat. Karena memang kondisi negara lagi dalam suasana tegang, ada gerombolan dan PKI,” urainya.
Kini, rumah tersebut hanya sebatas cerita. Seiring berjalannya waktu, pemerintahan berganti, nasib rumah saksi sejarah ini kian memprihatinkan. Tak terurus dan nyaris rubuh.
Atapnya sudah bocor, yang bisa dimanfaatkan hanya ruang dan kamar di belakang. Sementara ruangan di depan sudah rubuh dan tak berfungsi lagi.
“Sekarang kita tinggal bagian belakang. Di depan ini sudah rusak,” katanya lirih.
Dulunya, daerah di sekitar rujab yang paling ramai di Kendari. Karena, hampir semua kantor pemerintahan maupun aktivitas perdagangan ada di daerah Kota Lama.
Kini, Kota Lama hidup dalam kesendirian, keterasingan dan kekumuhannya.
Selamat tinggal Kota Lama, selama datang Kota Baru. Kota dengan Jembatan Bahteramasnya.
Reporter: La Ode Pandi Sartiman
Editor: Rido