
Kendari, Inilahsultra.com- Banyak celah hukum lemah ditemukan dalam Undang-Undang Pilkada Nomor 10 Tahun 2016, memantik beberapa pegiat hukum dan politik di Kota Kendari ikut mendiskusikan.
Hasilnya, semua sepakat harus ada revisi aturan menyeluruh di pelbagai UU maupun Peraturan KPU.
Hal ini dikemukakan oleh pengamat hukum Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari La Ode Muh Taufik SH MH.
Menurut dia, salah satu yang perlu diubah atau dihapus adalah Pasal 158 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang ambang batas selisih menggugat di Mahkamah Konstitusi.
Menurut dia, pasal ini terkesan melegalisasi pelanggaran yang terjadi di pilkada. Sebab, banyak pelanggaran yang terjadi dan secara tidak langsung mempengaruhi hasil pemilihan.
“Jadi, semua calon akan berlomba untuk melalukan kecurangan yang penting melewati angka 2 persen selisih,” ungkap Taufik, Sabtu, 22 April 2017, di Hotel Zenit Kendari.
Dia menambahkan, MK dalam pelaksanaannya seperti lembaga kalkulator dalam menangani perkara di MK. Mereka selalu mengacu pada angka selisih itu, padahal pelanggaran sangat masif, sistematis dan terstruktur.
“MK harusnya melihat prosesnya juga. Sebab, banyak calon yang melalukan pelanggaran dan sifatnya TSM,” katanya.
Selain pasal 158, yang perlu direvisi juga adalah masalah rekomendasi Panwas dan integritas panwas. Selama ini, dua lembaga, KPU dan Panwas memiliki pandangan yang berbeda atas keluarnya rekomendasi.
Dalam Peraturan KPU menegaskan bahwa yang berhak melakukan penelitian hingga lahirnya rekomendasi adalah di tingkat panwas kecamatan. Namun, dalam UU Pilkada maupun Peraturan Bawaslu menyebutkan bahwa yang mengeluarkan rekomendasi adalah lembaga pengawas pemilu.
“Perbedaan pandangan atas terjemahan peraturan ini harus direview kembali. Sebab, dampaknya terhadap kepastian penanganan perkara pilkada,” katanya.
Sementara itu, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kendari Anselmus AR Masiku menilai, yang perlu dievaluasi juga adalah proses tahapan yang terjadi.
“Banyak terjadi pelanggaran di beberapa tahapan. Misalnya, masalah Daftar Pemilih yang carut marut. Kemudian, dari aspek hukum penanganan pelanggaran harusnya rekomendasi panwas tidak dipertimbangkan oleh KPU, melainkan langsung dilaksanakan,” katanya.
Selama ini, rekomendasi yang dikeluarkan panwas selalu ditolak oleh KPU. Hal ini lah yang membuat proses penyelesaian perkara pilkada stagnan.
Ada harapan bahwa ke depan lembaga pengawas pemilu akan diperkuat. Rekomendasinya bersifat mengikat dan wajib dilaksanakan KPU.
“Namun, kewenangan yang besar ini jangan sampai disalahgunakan. Ke depan, pengawas harus memiliki integritas dan kapasitas yang baik,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Sultra Demo, Arafat menilai, proses perekrutan lembaga penyelenggara perlu ditinjau ulang. Kapasitas penyelenggara, khususnya Panwas minimal melebihi KPU.
“Kita harap mereka lebih bagus kualitasnya. Sebab, secara tidak langsung mereka harus menguasai lebih dari satu aturan lembaga, UU, Perbawaslu dan PKPU,” tuturnya.
Reporter: La Ode Pandi Sartiman
Editor: Rido