
Dr. Eng. Jamhir Safani
Ketua Forum Perguruan Tinggi Pengurangan Risiko Bencana (FPT-PRB) Sulawesi Tenggara
Bencana yang Selalu Berulang
Hujan yang melanda wilayah Sulawesi Tenggara sejak tanggal 11 s/d 14 Mei 2017 telah memberikan sejumlah permasalahan berupa banjir dan longsor. Bencana banjir ini tidak saja menjadi sorotan media lokal, tetapi beberapa media nasional baik TV maupun online tidak luput dari pemberitaannya. Bencana hidrometeorologi, terutama banjir, yang pernah terjadi tahun 2013 seolah terulang kembali.
Beberapa area mengalami banjir yang parah dan longsor sejak tanggal 12 Mei dan puncaknya terjadi pada hari Ahad tanggal 14 Mei 2017. Berdasarkan informasi yang dihimpun dari beberapa sumber, dampak dari banjir ini telah mengakibatkan 782 jiwa mengungsi dan 60 Ha sawah terancam gagal panen di Kabupaten Konawe Selatan, ratusan rumah terendam dan kurang lebih 250 Ha sawah terancam fuso di Kabupaten Buton Utara. Di Kecamatan Amonggedo Kabupaten Konawe puluhan rumah terendam banjir dengan ketinggian air sekitar 60 sentimeter.
Tingkat keparahan yang paling tinggi terjadi di Kota Kendari, Ibukota Provinsi Sulawesi Tenggara, dimana hampir seluruh kelurahan terendam banjir. Diperkirakan ribuan rumah di Kota Metro ini terpapar karenanya. Seluruh dataran rendah, utamanya yang berdekatan dengan pantai dan sempadan sungai yang ada di Kota Kendari tidak ada yang luput dari genangan banjir. Banjir terparah terjadi di tiga lokasi, yaitu bantaran Sungai Wanggu Kelurahan Lepo-Lepo dengan tinggi air sekitar 1,5 m, Kelurahan Kampung Salo, dan wilayah sepanjang jalan poros Anduonohu. Akibatnya puluhan warga yang terpapar di bantaran Sungai Wanggu mengungsi di tenda-tenda darurat yang disediakan oleh Pemerintah.
Selain banjir, intensitas hujan yang tinggi juga memicu terjadinya longsor di beberapa tempat. Di Buton Utara, longsor menyebabkan tumbangnya pohon dan menimpa kendaraan yang melintas sehingga mengakibatkan timbulnya satu korban jiwa. Beberapa rumah warga di Kelurahan Anggolomelai dan Kelurahan Kampung Salo Kota Kendari terkena longsor, namun tidak menimbulkan korban jiwa.
Mengapa Bencana Hidrometeorologi Sering Terjadi?
Sebab-sebab utama terjadinya bencana hidrometeorologi (utamanya banjir dan longsor) yang sering melanda wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara, khususnya Kota Kendari , ditanggapi oleh beberapa pihak terutama dari Pemerintah Daerah dan anggota DPRD. Tiga aspek utama yang menjadi sorotan utama penyebab banjir yaitu intensitas hujan yang tinggi, kapasitas daerah aliran sungai yang berkurang, dan buruknya drainase. Tulisan ini mencoba mengurai sebab-sebab terjadinya bencana hidrometeorologi di Kota Kendari secara lebih holistik dengan melihat aspek alamiah dan aktifitas pembangunan/manusia.
Kondisi geomorfologis wilayah Kota Kendari
Tuhan Yang Maha Kuasa mentakdirkan wilayah Kota Kendari memiliki geomorfologi yang berupa daerah pedataran dan perbukitan. Daerah pedatarannya memiliki kemiringan kurang dari 5 persen dan ketinggian 5 – 50 m DPL. Daerah pedataran ini umumnya berhadapan langsung dengan Teluk Kendari. Di samping itu, terdapat beberapa sungai besar (S. Wanggu, S. Lasolo, dan S. Lahundape) dan banyak anak sungai (kali) yang melewati wilayah kota ini dan bermuara di Teluk Kendari. Daerah-daerah landai dimanapun dengan kemiringan kurang dari 5 persen yang dilalui oleh aliran sungai besar maupun anak sungai serta berbatasan langsung dengan laut, maka dapat dipastikan bahwa wilayah tersebut memilki potensi terhadap ancaman bencana banjir.
Kondisi pasang di laut bersamaan dengan turunnya air/banjir dari darat akan semakin memperparah keadaan. Potensi ancaman banjir ini akan semakin besar jika hutan di hulu daerah aliran sungai dan hutan basah (mangrove) di area tangkapan air (hilir) rusak atau dialihfungsikan. Hal ini seharusnya menjadi kesadaran kolektif bagi seluruh komponen masyarakat di Kota Kedari, utamanya untuk kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.
Daerah perbukitan Kota Kendari membentuk deretan perbukitan yang memanjang ke arah barat-timur di bagian utara dan selatan Teluk Kendari. Beberapa daerah perbukitan seperti di Kecamatan Kendari, Abeli, dan Tipilu didominasi oleh lapisan tanah dengan tekstur kasar berupa tanah berpasir, kerikil, kerakal, dan pasir. Wilayah perbukitan dengan tekstur tanah kasar seperti di atas lebih rawan longsor dibandingkan dengan tanah bertekstur halus (liat) karena tanah bertekstur kasar memiliki kohesi agregat tanah yang rendah.
Turunnya hujan secara berturut-turut selama berhari-hari dengan curah hujan lebih dari 90 mm/hari merupakan pemicu utama terjadinya tanah longsor. Pemerintah dan masyarakat mesti berhati-hati dalam melakukan pembangunan di wilayah-wilayah tersebut, terutama kegiatan cutting lereng untuk pembangunan rumah/perumahan dan jalan karena dapat mengganggu stabilitas lereng.
Perkembangan Pembangunan
Perkembangan pembangunan di Kota Kendari yang tidak memperhatikan aspek mitigasi bencana juga mempunyai andil yang signifikan terhadap bencana banjir dan longsor. Area-area bisnis dalam bentuk kompleks rumah toko (ruko) tersebar di sepanjang jalan-jalan utama Kota Kendari. Parahnya, seluruh ruko menutup drainase dan halaman yang ada di depannya dengan konstruksi permanen, sehingga menyebabkan aliran run-off tumpah-ruah di badan jalan. Hal ini paling sedikit akan menimbulkan tiga dampak.
Pertama, limpasan air ke badan jalan akan merusak jalan tersebut. Tekanan dari kendaraan yang lewat akan menyebabkan perenggangan porositas material jalan sehingga air dapat terinfiltrasi, yang pada gilirannya kekuatan struktur jalan menjadi berkurang (liquefied). Kedua, adanya penutupan drainase dengan konstruksi yang permanen ini akan menghambat tindakan normalisasi segera apabila terjadi penyumbatan. Ketiga, genangan air di badan-badan jalan menyebabkan kemacetan lalulintas.
Penyempitan badan sungai/kali juga terjadi di beberapa tempat sebagai dampak pengembangan kawasan perumahan. Debit aliran air di bagian hilir sungai/kali mengecil, sehingga air tertahan di bagian downstream dan menimbulkan genangan.
Pembangunan yang dilakukan di Kota Kendari juga menyebabkan terjadinya cutting pada lereng-lereng perbukitan untuk keperluan transportasi jalan dan perumahan. Persoalan cutting daerah lereng ini muncul tatkala area lereng yang dipotong tersusun oleh lapisan tanah labil bertekstur kasar. Sebagai contoh, Pembangunan jalan poros di wilayah Lapulu yang melintasi pekarangan dan perumahan warga di daerah berbukit sangat rawan akan longsor karena jenis tanahnya sangat labil dan tebal. Intensitas hujan yang tinggi akan memberi beban yang makin berat sehingga dapat memicu terjadinya longsor.
Perlu kehati-hatian pihak terkait agar tidak membiarkan tanah labil yang tebal dan sangat curam tersebut, terutama untuk mencegah kerugian ekonomi dan korban jiwa bagi masyarakat yang menempati wilayah tersebut. Lebih-lebih dengan adanya kondisi cuaca yang tidak menentu saat ini. Pembangunan tanggul dengan konstruksi yang mampu menahan beban tanah dan infiltrasi air merupakan solusi mitigasi structural yang perlu segera dilakukan.
Pemotongan lereng juga terjadi di beberapa lokasi perbukitan Kota Kendari. Di Kelurahan Kampung Salo, Kecamatan Kendari misalnya, banyak masyarakat melakukan pemotongan lereng untuk membangun rumah. Hal ini sangat rawan karena wilayah ini juga mempunyai jenis tanah labil bertekstur kasar dan sangat tebal. Lebih-lebih lagi pemotongan lereng yang dilakukan masyarakat sangat terjal, bahkan sampai mendekati kemiringan 100% (tegak). Pemotongan lereng seperti ini berpotensi memotong system aliran air tanah, sehingga menjadikan lereng semakin tidak stabil. Intensitas hujan yang tinggi dapat memicu terjadinya longsor di daerah dengan kondisi seperti ini.
Disamping mitigasi yang bersifat struktural, juga diperlukan bentuk mitagasi non-struktural berupa edukasi kepada masyarakat tentang bahaya yang timbul akibat pembangunan di daerah lereng terjal dan tanah bertekstur kasar.
Daya Tampung Sungai yang Berkurang
Sungai-sungai yang ada di Kota kendari banyak mengalami pendangkalan. Laju sedimentasinya sangat tinggi. Material-material sedimen berupa tanah, pasir, kerikil dan kerakal serta tumpukan sampah terendapkan dan mengisi badan sungai. Hal ini menyebabkan berkurangnya daya tampung sungai. Sungai Wanggu, Sungai Lasolo, dan Sungai Kampung Salo termasuk sungai dengan sedimentasi tinggi. Normalisasi sungai dan kali mesti dilakukan secara intensif. Normalisasi sungai bukan berarti meluruskan sungai, tetapi mengangkat material terendapkan dengan menjaga bentuk alamiahnya. Masyarakat juga perlu ditumbuhkan kesadarannya agar tidak membuang sampah di sungai dan kali.
Pendangkalan Teluk, Perusakan Hutan di Hulu, Hilangnya Area Tangkapan Air
Teluk Kendari merupakan muara seluruh sungai yang melewati Kota Kendari. Sedimentasi yang tinggi tidak saja mengakibatkan pendangkalan sungai, tetapi sekaligus juga menyebabkan pendangkalan Teluk Kendari. Mengapa laju sedimentasi sungai-sungai dan Teluk Kendari begitu tinggi?
Melalui aplikasi Google Earth, kita dapat melihat pembukaan lahan di wilayah hutan sekitar hulu sungai. Akibatnya, air hujan sudah tidak tertahan dan tidak diserap oleh tanah, melainkan terjadi erosi yang langsung mengalir ke badan sungai dan terus ke Teluk Kendari. Di hilir sungai, malah terjadi hal yang lebih miris. Kawasan wetland yang biasanya dipenuhi ekosistem mangrove ditimbun untuk keperluan pembangunan. Kawasan wetland di Jalan Bypass La Ode Hadi dan sekitaran Perumahan Citraland merupakan contoh rusaknya kawasan basah di Kota Kendari. Akibatnya, tidaklah mengherankan jika potensi banjir di wilayah-wilayah tersebut semakin tinggi.
Solusi Banjir Jangka Panjang
Hujan yang turun dengan intensitas yang tinggi dan waktu yang lama (4 – 5 hari) telah mampu melampaui daya tampung tanggul Sungai Wanggu. Rumah masyarakat yang tinggal di Jalan Lamuse Kota Kendari yang berada di sempadan Sungai Wanggu tergenang hingga ketinggian 1,5 m, meskipun terdapat tanggul di wilayahnya. Pemerintah Daerah perlu mengambil langkah-langkah mencari solusi jangka panjang atas permasalahan ini. Dua hal yang perlu mendapat perhatian Pemerintah Daerah, yaitu pembangunan waduk/embung dan pembangunan kanal untuk kanalisasi banjir.
Pembangunan waduk atau embung merupakan solusi jangka panjang yang bersifat multi fungsi. Paling tidak terdapat lima fungsi pembangunan waduk/embung. Pertama, mencegah terjadinya banjir. Aliran sungai dapat dialihkan ke waduk atau embung sehingga meluapnya air sungai pada saat debit maksimum dapat dicegah. Kedua, irigasi pertanian termasuk pertanian kota. Ketiga, sumber air bagi keperluan hidup masyarakat. Sumber air besih juga masih menjadi masalah bagi masyarakat Sulawesi Tenggara, khususnya Kota Kendari. Terlebih lagi dengan bertambahnya jumlah penduduk dimasa-masa mendatang. Ketersediaan waduk bisa menjadi solusinya. Keempat, mencegah bahaya kekeringan. Kekurangan ketersediaan air untuk keperluan masyarakat dan pertanian dapat dicegah dengan keberadaan waduk/embung. Kelima, sumber energi listrik. Bertambahnya jumlah penduduk serta industri secara umum, memerlukan dukungan ketersediaan energi listrik yang cukup.
Pembangunan kanal-kanal juga memberikan solusi jangka panjang atas permasalahan banjir Kota Kendari. Wilayah-wilayah yang hilang daerah resepan airnya dapat sangat terbantukan dengan pembangunan kanal ini. Keuntungan dari pembangunan kanal ini adalah kita dapat mengatur debit air dan pola arahnya agar dapat menyesuaikan dengan pasang surut air laut. Kanal dapat dibuat lebih panjang dan memutar serta debit alirnya diatur dengan tujuan untuk menghambat pertemuan yang lebih cepat antara air yang mengalir dari darat dan air laut pasang, utamanya pada saat pasang maksimum. Sehingga dapak banjir rob dapat dicegah atau direduksi. (***)
Editor: Jumaddin Arif