Teknologi Penginderaan Jauh untuk Mitigasi Bencana Banjir dan Longsor di Sulawesi Tenggara

La Ode Muh. Golok Jaya, ST, MT

(Kandidat Doktor Bidang Teknologi Penginderaan Jauh dan Sains Informasi Geografis-Institut Teknologi Bandung/ITB, Dosen Fakultas Teknik Universitas Halu Oleo, Peneliti Celebes International Research Center for Biogeography and Biodiversity Universitas Halu Oleo)

 

-Advertisement-

Bila di Pulau Jawa atau Sumatera hampir semua jenis becana sering terjadi seperti banjir, longsor, gempa bumi, letusan gunung berapi dan sebagainya, maka bencana banjir dan longsor merupakan bencana yang paling sering melanda wilayah Sulawesi Tenggara (Sultra). Penyebab banjir yang utama tentu saja adalah curah hujan yang tinggi dalam waktu yang lama yang terjadi pada tutupan lahan tanpa vegetasi dan pada daerah yang relatif datar. Sedangkan penyebab sekunder meliputi pendangkalan arus sungai, menyempitnya sempadan sungai, tertutupnya saluran drainase oleh sampah maupun bangunan hingga penurunan muka tanah. Kombinasi kedua penyebab tersebut baik primer (utama) maupun sekunder menyebabkan kejadian banjir dapat terjadi dalam waktu yang lama hingga berhari-hari.

Memperbaiki kondisi lingkungan melalui rehabilitasi dan reboisasi lahan dari tanpa vegetasi menjadi bervegetasi merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi potensi banjir di suatu wilayah. Perbaikan alur sungai maupun memperdalam muara sungai juga merupakan salah satu tindakan teknis yang bisa dilakukan untuk mengurangi potensi banjir. Demikian juga memperlebar wilayah sempadan sungai dan menata saluran drainase guna menghindari masuknya sampah dan meminimalisasi adanya bangunan di atas saluran drainase juga merupakan langkah teknis yang dapat dilakukan. Tidak seperti Jakarta dimana dikenal banjir kiriman dari Bogor, tidak hujan di Jakarta tapi kalau hujan di Bogor/daerah puncak-pass, maka dapat dipastikan Jakarta akan banjir oleh banjir kiriman tersebut. Kota Kendari tidak seperti itu. Artinya sesungguhnya permasalahannya tidak serumit Jakarta.

Untuk Kota Kendari, kejadian banjir beberapa waktu lalu seolah-olah merupakan ulangan dari beberapa kejadian banjir yang pernah terjadi (terakhir tahun 2013). Kejadian banjir pada tahun 2013 lalu telah menjadi motivasi utama pemerintah Kota Kendari maupun Provinsi Sultra menata Kota Kendari sejak 2014-2016 yang lalu. Hal tersebut patut dihargai. Hampir seluruh saluran drainase pada ruas-ruas jalan utama diperbaiki, diperlebar, diperdalam dan dihubungkan antara satu jaringan drainase dengan lainnya. Namun demikian seolah-olah banjir juga tidak kapok menghampiri. Terbukti terjadi pada pertengahan Mei 2017 lalu. Kenapa bisa?

Menurut hemat penulis, penyebabnya adalah: Pertama, kesadaran masyarakat masih sangat rendah untuk membuang sampah pada tempat yang benar. Tidak usah hujan yang besar, hujan kecil saja air sudah tergenang karena sampah menutupi mulut saluran drainase. Air meluber ke jalan-jalan. Saluran drainase nyaris tidak berfungsi.

Kedua, sebagian ruas jalan masih ada yang lebih rendah permukaannya dari pada saluran drainase. Dengan demikian, jalan justru menjadi sink area (daerah cekungan). Air hujan tidak bisa mengalir ke saluran drainase. Akibatnya disamping terjadi banjir yang mengganggu aktivitas ekonomi dan sosial warga, fisik jalan pun rusak. Jadi kerugian menjadi dua kali lipat.

Ketiga, daerah sempadan sungai telah menjadi permukiman (kalau yang ini mirip Jakarta), dapat dilihat di Kota Lama atau kawasan Mandonga. Pemerintah harusnya tegas untuk soal ini karena tidak menutup kemungkinan di kawasan lainnya akan seperti itu juga dalam beberapa tahun lagi. Sempadan sungai dan daerah dataran banjir sama sekali tidak boleh dihuni atau didirikan bangunan.

Keempat, perlombaan meninggikan dasar bangunan. Akibat banjir tahun 2013 lalu, penulis memperhatikan bahwa pada daerah dataran banjir misalnya sekitar sungai Wanggu, warga yang mendirikan hunian/rumah/ruko meninggikan dasar bangunan tanpa memperhatikan kapasitas jalur/aliran air yang seharusnya masuk ke saluran drainase. Sekali lagi kawasan jalan menjadi daerah cekungan dan daerah banjir, air tidak masuk ke saluran drainase karena tertutup bangunan. Meninggikan dasar bangunan tidak salah tapi menutup aliran air itulah yang fatal akibatnya. Oleh karena itu kuncinya kembali lagi pada sistem drainase yang baik. Bagaimana mendesain sistem drainase yang secara teknis baik.

Kelima, perubahan tutupan lahan di perbukitan/dataran tinggi dari hutan menjadi kawasan terbuka baik menjadi permukiman maupun kawasan pertambangan. Akibatnya jumlah limpasan air menjadi tinggi apalagi jika hujan turun berhari-hari dengan intensitas tinggi. Maka tidak heran di beberapa desa di Konawe Utara juga terjadi banjir.

Perlunya mitigasi bencana sebelum kejadian bencana merupakan salah satu langkah untuk meminimalkan dampak kejadian bencana. Teknologi penginderaaan jauh satelit maupun drone (pesawat tanpa awak) dapat menjadi sumber utama data dalam upaya mitigasi ini. Drone atau pesawat tanpa awak atau Unmanned Aerial Vehicle (UAV) dapat memberikan data dalam skala besar dan detail untuk monitoring kondisi lingkungan mencakup perubahan tutupan lahan, volume drainase, kepadatan penduduk, untuk desain drainase, desain kanal, pelebaran dan normalisasi sungai dan sebagainya. Drone dapat digunakan untuk menilai tingkat kepatuhan warga kota dalam menjalankan peraturan tata ruang.

Pemerintah kota perlu menegaskan aturan tata ruang, mana daerah yang dapat dihuni, mana sempadan sungai atau daerah dataran banjir yang tidak boleh dihuni, mana ruko/perumahan yang menutup saluran air dan mana lokasi-lokasi yang berpotensi terjadi banjir. Jadi drone bukan sekedar untuk membuat foto/video pemandangan dari atas, tapi bisa berfungsi lebih dari itu. Secara teknis dari dua buah foto vertikal yang bertampalan (overlap) dengan sistem koordinat foto tertentu dapat dibuat model tiga dimensi. Foto vertikal atau dari model 3 dimensi itulah yang digunakan untuk monitoring kota.

Sedangkan citra satelit yang dapat memfoto permukaan bumi dalam skala yang lebih luas (kecamatan, kota, kabupaten dan bahkan provinsi) dapat berguna untuk monitoring perubahan tutupan lahan, permukiman dan pendugaan volume limpasan air dalam daerah aliran sungai. Dengan citra radar dapat diprediksi pergerakan tanah dan longsor dengan metode interferometrik.

Metode interferometrik menggunakan citra satelit radar telah lama digunakan untuk mendeteksi pergerakan tanah baik dalam arah horizontal maupun vertikal (penurunan muka tanah). Oleh karena itu, sesungguhnya tidaklah sulit untuk mendeteksi suatu daerah berpotensi terjadi pergerakan tanah dan bisa mengakibatkan longsor dengan teknik tersebut. Jepang telah lama menggunakan metode interferometrik tersebut untuk mendeteksi longsor/pergerakan tanah akibat gempa bumi.

Di Indonesia khususnya Jakarta teknik Interferometrik radar digunakan untuk mendeteksi penurunan muka tanah (land subsidence) dan bahkan untuk mendeteksi perubahan posisi pipa minyak dan gas untuk mitigasi kebakaran. Metode lainnya adalah dengan pengukuran GPS (Global Positioning System) geodetik yang dapat mendeteksi perubahan/pergerakan tanah hingga fraksi centimeter dan bahkan millimeter.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah dan instansi teknis terkait (utamanya dinas pekerjaan umum/bina marga/pengairan dll, termasuk dinas tata ruang) perlu bersama-sama membuat program mitigasi bencana berdasarkan data-data spasial di atas (dari drone maupun satelit dengan spesifikasi teknis yang teliti). Peta-peta mitigasi diupayakan berasal dari data tersebut. Disamping itu perlu monitoring atas kebijakan-kebijakan/peraturan daerah terkait penanggulangan bencana. Monitoring yang up to date (terkini) menggunakan drone (UAV) atau satelit dapat menjadi solusi jangka pendek mengatasi bencana yang tidak kita tahu kapan datang. Upaya mitigasi tersebut harus benar-benar dalam perspektif menyelamatkan, menolong dan menghargai nyawa orang lain yang bisa saja itu adalah saudara/keluarga kita sendiri. (***)

Editor: Jumaddin Arif

Facebook Comments