
Sejumlah warga Nangananga, Kelurahan Baruga, Kecamatan Baruga, Kota Kendari, saat melakukan aksi unjuk rasa di gedung DPRD Sultra.
Kendari, Inilahsultra.com – Masyarakat yang bermukim di sekitar Nangananga, Kelurahan Baruga, Kecamatan Baruga, Kota Kendari, kembali diusik dengan hadirnya ekskavator milik Pemprov yang menggusur sebagian lahan mereka untuk dibangunkan stadion dan sarana olahraga.
Merasa bahwa lokasi yang sekarang turut ditempati eks tahanan politik (tapol) itu adalah milik mereka, masyarakat membangun perlawanan terhadap Pemprov Sultra.
Mereka mengadukan Pemprov ke DPRD Sultra karena dianggap telah menyerobot lahan miliknya.
Asis Tora, selaku koordinator masyarakat Nangananga menjelaskan kepada Inilahsultra.com bahwa, daerah itu telah ditinggali oleh kakeknya yang bermarga Olu Wanggu sejak 1613.
“Itu merupakan catatan sejarah orang tua kami,” ungkap Asis Tora saat ditemui di gedung DPRD Sultra, Senin 15 Agustus 2017.
Seiring perjalanan waktu, bukan hanya masyarakat dari marga Olu Wanggu yang mendiami lokasi tersebut. Beberapa kelompok masyarakat dari daerah lain datang dan bermukim di daerah itu. Sebelumnya, mereka membeli tanah dari keluarga Olu Wanggu.
Pada Tahun 1976, sebut dia, ada kebijakan pemerintah untuk meminjam lahan warga seluas 1.000 hektare untuk menempatkan ratusan warga eks tapol.
Kebijakan ini, sebut dia, tertuang dalam SK Bupati Kendari Nomor 76 Tahun 1976 yang menunjuk Nangananga sebagai lokasi tahanan bebas bagi eks tapol.
“Luas lahan awalnya seribu hektare. Tapi setelah diukur kembali oleh BPN, maka tinggal 796 hektare. Dari awal, negara hanya meminjam tanah kami,” bebernya.
Asis Tora mengaku memiliki dokumen tentang kepemilikan tanah di lokasi itu.
Setelah dipinjamkan tanah itu, ternyata diam-diam pemerintah mensertifikatkan lahan mereka menjadi milik negara.
Akibatnya, konflik kepemilikan lahan antara masyarakat dan pemerintah masih berlanjut sampai sekarang. Setidaknya, Asis Tora telah memperjuangkan haknya sejak 1984 silam.
Pada Tahun 2004, Gubernur Sultra La Ode Kaimoeddin saat itu mencoba memfasilitasi warga dan meminta agar masyarakat merelakan sebagian tanahnya untuk dibuatkan jalan menuju Bandara.
“Kita terima saat itu karena syukur-syukur kita dibangunkan jalan. Tidak lagi jalan kaki,” ujarnya.
Menurut dia, Kaimoeddin paham bahwa tanah itu milik warga. Sehingga, tidak mau mengosongkan mereka dari lahan tersebut.
“Sudah berapa gubernur, nanti Nur Alam ini yang berani gusur kami,” ujarnya.
Pada Tahun 2009, masyarakat sempat bersitegang dengan aparat karena saling klaim tanah tersebut. Bahkan, kata Asis, pemerintah kala itu telah menggusur beberapa pemukiman warga.
Karena adanya penolakan dari masyarakat beberapa tahun, maka Wakil Gubernur Sultra HM Saleh Lasata melakukan mediasi sekitar 2014 lalu. Hasilnya, sebut dia, pemerintah untuk menahan diri dulu sembari mengoreksi kembali duduk persoalan dan legalitas atas tanah seribu hektare itu.
“Tidak ada kesimpulan yang dihasilkan. Kondisi tanah itu sekarang status quo,” ujarnya.
Namun belakangan, kata dia, Pemprov Sultra kembali melakukan penggusuran seluas 100 hektare tanah milik warga Nangananga.
“Di sana sekarang sudah seribuan warga yang memiliki tanah. Tapi, datang Pemprov menggusurnya. Penggusuran ini tidak diberitahukan juga kepada warga,” jelasnya.
Dia menuding, penggusuran ini untuk memuluskan megaproyek Pemprov Sultra untuk membangun stadion dan sarana olahraga lainnya.
“Karena ini ada kepentingan bisnis maka masyarakat digusur. Kita herankan juga, di sana ada tentara yang jaga itu proyek,” tuturnya.
Dia berharap, penggusuran yang dilakukan pemerintah segera dihentikan karena tanah tersebut masih status quo.
Penulis: La Ode Pandi Sartiman
Editor : Jumaddin Arif