
Prof Dr H Eka Suaib MSi, saat membawakan pidato ilmiahnya pada pengukuhan sebagai guru besar, di Auditorium Mokodompit UHO Kendari, Sabtu, 19 Agustus 2017.
Kendari, Inilahsultra.com – Prof Dr H Eka Suaib MSi, menyebutkan ada tiga aktor penting yang mempengaruhi pengambilan kebijakan publik, yakni teknokrat, politisi, dan pengusaha.
Menurutnya, teknokrat mengandalkan keahlian teknis untuk hanya menjadi pelaksana. Tetapi kelemahan teknokrat adalah mereka terlalu mengandalkan keahliannya dan terlalu berbahaya jika pelayanan publik itu hanya diserahkan kepada para teknokrat.
Sementara aktor yang kedua para politisi adalah orang yang terpilih atau diangkat dari jabatan-jabatan publik dalam suatu proses pemilu.
Mereka, lanjut Eka, mempunyai hasrat untuk mengimplementasikan waktu dan tempat untuk mendengarkan aspirasi konsituen, sehingga menjadi referensi dalam pengambilan kebijakan publik.
“Tapi kelemahan dari politisi adalah mereka memudahkan politik dan kebijakan dari tangan rakyat ke tangan politisi, ini tentu saja mengendap persoalan politik yang serius,” kata Eka, di Auditorium Mokodompit UHO, Sabtu, 19 Agustus, 2017.
Sementara, tambah Eka, aktor yang ketiga adalah birokrat atau pengusaha. Kategori ini dapat dipetakan menjadi 3 yaitu birokrat pencari nafkah, birokrat politisi, dan birokrat profesional.
“Konteks ini ada fenomena yang berkembang di Indonesia saat ini, khususnya pada saat pemilihan kepala daerah,” katanya.
Lebih jauh Eka menjelaskan, munculnya para pengusaha dan peran pengusaha dilakukan ada dua jalan, pertama para pengusaha yang bertransformasi menjadi penguasa, sehingga sekarang ini banyak penguasa yang berasal dari pengusaha, kedua para pengusaha yang membekap para calon-calon bupati, gubernur pada saat pilkada. Mereka inilah yang akan mewarnai kebijakan publik.
“Menurut riset saya di Sultra aktor yang paling dominan di konteks ini adalah bos lokal, aliansi antara penguasa dan pengusaha dan orang kuat. Inilah yang menjadi aktor-aktor mempengaruhi kebijakan publik,” terangnya.
Eka Suaib menyimpulkan bahwa proses kebijakan secara umum yakni formulasi, implementasi, dan kinerja. Formulasi merupakan tahap yang paling krusial karena harus diakui bahwa elitisme pembuat kebijakan sebagai penyebab kegagalan dari kebutuhan-kebutuhan manusia yang semakin terfakumtasi.
“Karena itulah kita butuh reorientasi baru terhadap cara pandang perumusan publik. dengan disebut demokratis politik bersandar pada nilai luhur pancasila. Kita memiliki jastifikasi, jistoritas, rasionalitas dan akualitas yang harus diperiksa karena masing-masing sila pancasila memiliki nilai untuk menopang kebijakan publik,” simpulanya.
Penulis: Haerun
Editor : Jumaddin Arif