
Wa Ode Dai, ibu Saddil Ramdani
Kendari, Inilahsultra.com – Nama Saddil Ramdani menjadi perbincangan hangat masyarakat akhir-akhir ini. Berkat gol indahnya di gawang Filipina di SEA Games Malaysia, seketika namanya “meledak”.
Publik hanya tahu Saddil adalah pemain andalan tim nasional Indonesia saat ini. Banyak yang tak tahu siapa Saddil sebenarnya.
Yah, Saddil adalah anak kedua dari Wa Ode Dai, seorang janda tangguh berjiwa malaikat asal Kabupaten Muna.
Sore itu, Sabtu 19 Agustus 2017, secara kebetulan ibunda Saddil, Wa Ode Dai melintas di kediaman Isnain Kimi, di Jalan Mekar Indah, Kelurahan Kadia Kecamatan Kadia Kota Kendari.
Kebetulan, Isnain bisa memberikan petunjuk untuk bisa bertemu dengan perempuan kelahiran 1967 itu.
Tak butuh keringat untuk mencari Wa Ode Dai. Perempuan tangguh ini datang dengan sendirinya.
Dengan penampilannya yang sederhana, mengenakan kaos oblong, celana sebetis, Dai sangat ramah. Dia masih mengingat wajah saya karena sebelumnya pernah bertemu dengannya.
Mengawali bincang-bincang, Dai berkelakar.
“Sudah lama saya lihat kamu. Kodari mana saja,” tanyanya membuka percakapan.
“Saya baru saja mencari kita. Kebetulan saya ketemu dengan Bang Naim (sapaan akrab Isnain Kimi),” jawab saya.
Wa Ode Dai, dari raut wajahnya, usianya sudah terlihat senja. Namun, semangatnya seperti sebantaran kaum muda. Mengisahkan dari bait ke bait, suka duka hidupnya bersama empat anaknya, terutama dengan Saddil yang saat ini membuatnya bisa membusungkan dada meski 20 tahun diterpa derita.
Tatapannya mulai dalam saat pertanyaan tentang suaminya kulontarkan kepadanya.
Dai mengisahkan, telah menikah pada 1995 silam dengan seorang pria yang tidak mau dia sebutkan.
Usai menikah, Dai tinggal bersama suami di perumahan guru, Lorong Jati Kelurahan Lepolepo Kecamatan Wuawua Kota Kendari.
Dari pernikahan itu, dikaruniai empat orang anak berturut-turut, Dewinta Yuliani (lahir 18 Juli 1997), Saddil Ramdani (2 Januari 1999), Alfitrah Zulhijah (21 Maret 2002) dan Sriawati dua tahun setelah Alfitrah (2004).
Sejak menghamilkan anak terakhirnya, Dai sudah mendapatkan perlakuan kasar. Bahkan, suami tidak mau mencari nafkah. Di waktu yang bersamaan pula, Dai membutuhkan biaya banyak karena sementara menyelesaikan studinya di PGSD.
“Uang yang dia dapat, saya tidak boleh tahu. Uang yang saya dapat, dia harus tahu. Alasannya, karena dia sudah bayar adat saya, sehingga dia maunya tahu uang saya,” jelasnya.
Untuk menyambung hidup dan isi perut suami, terpaksa Dai bekerja jadi tukang cuci rumahan dan mencabut rumput.
“Saya juga honor-honor di sini,” katanya.
Meski terhimpit kehidupan yang susah, dia tetap menyembunyikan penderitaannya di mata anak-anaknya.
“Saya tetap sayang punya anak, saya tidak ingin Perlihatkan kalau sedang susah,” paparnya.
Kabar baik datang. Pada tahun 1999 Dai mendapat penempatan transmigrasi di Baubau. Suami dan anaknya pun ikut. Namun, penghasilan jadi honorer tidak cukup.
Lalu, dia kembali ke Kendari. Sekembalinya di Kendari, kondisi tidak berubah. Malah, suaminya makin menjadi.
Dai meminta kepada suaminya agar segera pindah ke Raha, di kampung suami di Kecamatan Barangka (dulu masuk Kecamatan Lawa).
“Di Lawa, saya hampir enam bulan. Saya minta dicarikan tanah untuk berkebun, tapi suami tidak mau pusing, makanya saya minta pindah di Bonea, Desa Roda, di kampung saya,” katanya.
Kehadirannya di Bonea, terkesan ditolak oleh keluarganya. Tak ada satu pun iba dengan kondisinya. Dia terpaksa memilih hidup di pondok-pondok.
Untuk bertahan hidup, dia pernah membuka kios, namun pada akhirnya bangkrut di tangan suaminya.
Dai kembali putar otak. Dia menetapkan pilihan untuk mengolah lahan yang berada di perbatasan Desa Lambiku dan Bonea.
“Kebetulan, ada lahan tidur di situ jadi saya manfaatkan saja,” jelasnya.
Tapi sayang, tanah yang telah dikaplingnya itu dilarang oleh pemerintah untuk dikelola.
“Pada saat itu datang Polisi Kehutanan dan dari Polres. Saya dilarang karena itu masuk kawasan. Saya tanya, kok saya hanya manfaatkan, tapi dilarang. Dari pada jadi lahan tidur,” ujarnya.
Namun, penjelasannya tidak diterima oleh pihak aparat. Dia mengurungkan niatnya untuk berkebun di situ.
Kondisi ekonomi yang serba sulit, membuat pertengkaran dengan suaminya memuncak. Dia mendapatkan perlakuan kasar. Wajahnya babak belur terkena “bogeng mentah” suaminya.
“Saya langsung memilih. Kalau saya bertahan, berarti saya mati. Lebih baik talak,” tegasnya.
Mengurus perceraian dengan suaminya hampir memakan satu tahun. Nanti, pada Agustus 2007, dirinya resmi berpisah. Suaminya meninggalkan beban empat orang anak dan luka yang mendalam.
Dai tak putus asa. Setelah perceraian itu, dia memilih untuk meninggalkan pondok-pondok dan memilih tinggal di salah satu ruangan sekolah di SD Roda, di Bonea Kecamatan Lasalepa Kabupaten Muna.
Di sini lah, lembaran hidup baru dijalani Dai bersama empat anaknya.
Termasuk harus merawat Saddil yang memiliki segudang cita-cita yang besar.
Saat itu, Saddil telah masuk kelas 3 sekolah dasar (SD). Sebelumnya, Saddil telah mulai mengenyam pendidikan di SDN Matakidi Kecamatan Lawa (sekarang Kecamatan Barangka) Kabupaten Muna Barat.
Untuk menyambung hidup anaknya, Dai bekerja siang malam.
Siang, dia mencabut rumput di rumah orang dengan upah Rp 25 ribu perhari. Malamnya, dia begadang sampai subuh mencari hewan laut yang bisa dijual.
“Saya cari teripang sampai di Tampo sana. Saya kadang dapat satu ember dan saya jual Rp 40 ribu. Begitu terus setiap malam,” tuturnya. (Bersambung)
Penulis : La Ode Pandi Sartiman