Saddil Ramdani, Pesepakbola yang Dibuang di Muna, Gemilang di Timnas

Saddil Ramdani (ist) 

Kendari, Inilahsultra.com – Sebelum meniti karir sebagai pemain profesional, Saddil Ramdani adalah pemain antar kampung.

Mewujudkan mimpinya sebagai pemain profesional, dia pernah dibuang dari tanah kelahirannya, Kabupaten Muna. Tapi, pada akhirnya waktu yang menjawab. Dia menjadi andalan tim nasional Indonesia.

-Advertisement-

Dikisahkan dari ibunya, Wa Ode Dai, Saddil sejak kecil sudah menunjukkan bakat pesepakbola potensial.

Di kelas 6 SD, Saddil sudah bermain dengan pemain tua.

“Dia tidak mau main dengan anak-anak katanya. Dia ingin main dengan yang besar-besar,” katanya, Sabtu 19 Agustus 2017.

Hampir semua kejuaraan antarkampung di wilayah Tampo diikuti oleh Saddil. Bahkan, dia sempat diajak untuk tinggal di Tampo.

“Dia pernah diajak oleh kepala sekolah di Tampo untuk main di sana. Tapi saya larang, mau makan apa di sana. Saya bilang sama dia, nanti setelah SMP baru aktif main. Kalau sekarang, latihan-latihan saja dulu,” katanya.

Saran ibunya itu, membuat Saddil ciut. Nanti, setelah masuk di kelas 1 SMP Bonea, Saddil kembali aktif ikut kejuaraan.

“Setiap main saya kasi uang Rl 2 ribu untuk beli es. Kalau dibelikan teman-temannta, jangan kasi jalan itu uang kembalikan ke mama,” ujarnya.

Di usia Kelas 1 SMP, Saddil mewakili sekolahnya untuk mengikuti Liga Pendidikan Indonesia (LPI) pada 2012.

Saat itu, yang keluar sebagai juara adalah SMP Maligano. Namun, pada saat perhelatan LPI di Raha, permainan Saddil membuat pelatih SMP Maligano tertarik untuk merekrutnya.

“Dia izin mau pergi Maligano, tapi saya larang. Katanya, ada pelatih yang panggil, siapa tahu lolos di Kendari setelah itu ke Ternate,” jelasnya.

Usaha Saddil ke Maligano membuahkan hasil. Pergi tanpa uang sepesren pun, dia berhasil masuk skuad LPI Kabupaten Muna yang diwakili SMP Maligano.

“Dia wakili Kabupaten Muna pada 2012. Pada saat main di Kendari, mereka menang dan wakili Sultra di Ternate. Tapi, di Ternate mereka kalah, tapi Saddil bisa main bagus di LPI tingkat nasional itu,”

Karir sepakbola Saddil berlanjut. Pada Tahun 2013, Saddil kembali ikut di LPI tingkat kabupaten. Pada tahun itu, SMP Waara mewakili Kabupaten Muna.

Di saat yang bersamaan pula, ada panggilan panggilan tim nasional Indonesia untuk seleksi U-16 di Bandung.

Sayangnya, Saddil tidak direkomendasikan untuk ikut seleksi itu oleh tim pelatih di Muna.

“Yang direkomendasikan itu orang lain yang akrab dengan pelatih,” ujarnya.

Begitu pula di LPI Muna, nama dia dicoret dari daftar pemain. Padahal, kata ibunya, Saddil adalah pemain yang memperkuat Sultra di kejuaraan LPI di Ternate.

“Dia menangis karena tidak bisa diambil oleh pelatihnya. Saya pun tanya, kenapa bisa. Dia jawab tidak tahu. Saya ajak Saddil untuk naik ketemu pelatihnya di Raha,” kisahnya.

Saat bertemu dengan pelatihnya, ternyata Saddil dianggap tidak bagus mental bermainnya.

“Naik ke rumah pelatihnya, tanyakan kenapa tidak lolos. Kan, walaupun kalah di Ternate, harusnya diikutkan lagi tahun ini. Tapi dibilang pelatihnya katanya tidak bagus mentalnya. Diskualifikasi karena kebijakan provinsi,” jelasnya.

Wa Ode Dai tak puas mendengarkan penjelasan itu. Dia kembali mengkonfirmasi di Diknas Kabupaten Muna. Ternyata, jawaban yang sama disampaikan oleh pengurus.

“Ibu harus tahu, jangan desak kami kalau tidak lihat karakter dan mentalnya rusak. Kalau dia, masuk kita harus siap didiskualifikasi. Saya tanyakan untuk apa dikasi latihan selama ini, begitu pengukuhan dia jatuh. Percuma dia latihan di Raha,” ujarnya.

Sepulangnya di rumah, Wa Ode Dai tak kuasa melihat anaknya yang terus menangis. Sebagai orang tua, tidak bisa abaikan harapan anaknya itu.

“Saya bilang begini, mau balik sama siapa terkait masalah bola ini. Kita tidak punya uang apalagi dengan keluarga tidak mau pusing. Saya masih bisa usahakan, asal mama masih sehat dan kamu masih bisa main bola,” ucapnya kepada Saddil.

Karena anaknya dibuang dari tanah kelahirannya, Wa Ode Dai memutuskan untuk membawa anak-anaknya ke Kendari.

“Sata tanya anak-anak, mau ke Kendari atau tidak. Kalau mau, kita siap menderita. Kalau tidak makan harus sabar dan kalau dapat makan kita harus bersyukur, karena saya ini kepala rumah tangga di sini,” katanya.

Tawaran yang diberikan Dai ini, diterima anak-anaknya.

“Mereka iyakan. Tapi, kalau hanya iya di bibir, tidak usah di kendari, kita di sini saja bisa olah kebun,” tekannya.

Keputusan mereka bulat. Harus pindah di Kendari.

Saat itu, Dai meminjam uang di Koperasi sebanyak Rp 5 juta untuk biaya di Kendari. Dia meminta kepada anak-anaknya untuk sekolah dulu di Bonea sembari dirinya berurusan kepindahan anaknya.

“Selama di Kendari, tidak disimpankan uang. Mereka menolak dikasikan uang asal kita bisa pindah di Kendari. Mereka cari sendiri uang. Saddil angkut kerikil dan Izul (adik laki-laki) memancing. Uli (kakaknya) memasak dan mencuci. Saya tidak mau dengar kalau minta sama keluarga. Kalau dengar maka gagal rencana kita,” tegasnya.

Permintaan ibunya ini diikuti oleh anak-anaknya. Hingga akhirnya, mereka pindah di Kendari.

Di Kendari, Saddil masuk sekolah di SMP 9 Kendari, kakaknya di SMEA Kendari dan adiknya di SD 10 Baruga.

Setelah resmi sekolah di Kendari, motivasi Saddil untuk latihan semakin tinggi. Dia sempat pergi di Lapangan Lakidende, tapi ditolak karena masih baru.

“Saya sarankan tetap bawa sepatu dan main. Kalau dilihat, pasti diajak. Tanpa bernaung di tim, tetap latihan saja,” sarannya kepada Saddil.

Di saat yang sama, Kendari baru saja menggelar LPI dan yang berhasil mewakili adalah SMP 9 Kendari dan bertemu dengan Kabupaten Muna.

Saddil sempat diprotes oleh pelatih dari Muna karena dia mainkan Kendari.

“Banyak yang teriak patahkan itu Saddil. Saya kasitahu mereka bahwa anak saya itu pindah di Kendari karena tidak dipakai di Muna. Terlalu kuat politiknya di Muna,” semprot Dai di lapangan Lakidende.

Dalam pertandingan itu, Muna keluar sebagai pemenang.

“Karena hanya Saddil yang kuat latihan, makanya kalah. Soal kalah menang tidak masalah. Yang penting dia bisa main,” ujarnya.

Dai mengaku, tidak terlalu suka proses rekrut pemain di Muna karena terkesan siapa yang dekat.

“Yang saya tidak suka politiknya itu, makanya saya pindahkan saya punya anak,” keluhnya.

Meski gagal di LPI 2013, Saddil tetap semangat bermain. Dia mulai dipanggil bermain di kejuaran lokal di Sultra.

“Dia pernah main di Antam dan menghilang dua hari. Saya marahi tidak pernah izin. Ternyata, Saddil mengaku dipanggil di sana dan dibayar Rp 2,5 juta. Saya bilang, biar banyak uangmu tapi harus izin supaya saya tahu,” jelasnya.

Saddil makin menarik perhatian. Dia kembali dipanggil main di Unaaha dan Konawe Selatan. Kedua kejuaraan itu, mereka juara.

Pada 2015, di usianya yang sudah masuk SMA 4 Kendari, Saddil dipanggil untuk ikut pekan olahraga provinsi (Porprov) di Buton Utara dan memperkuat Kota Kendari. Hasilnya, mereka hanya dapat juara 2.

Sepulang dari Porprov, Saddil makin intens latihan. Setiap jam istrahat di sekolahnya, SMA 4 Kendari, Saddil selalu main bola sendiri.

Bahkan, dia sempat adu jotos dengan seniornya karena berebut bola.

“Dia dikeroyok sampai enam orang. Tapi dia tidak mau kalah juga. Dia melawan karena tidak mau ditekan, sudah miskin, dijajah lagi,” kenangnya.

Tidak lama berselang, Saddil mendapatkan panggilan untuk sekolah di Sekolah Sepak Bola Aji Santoso International Football Academy (ASIFA).

Masuknya nama Saddil berkat peran dua pelatihnya, Asrul dan Pehe (Abdul Razak) yang punya koneksi dengan Aji Santoso, pelatih sepakbola Indonesia.

Namun, untuk berangkat ke Malang, ibu Saddil tak punya uang. Terpaksa mereka meminjam di keluarganya dengan syarat satu minggu sudah kembali.

“Saya pinjam Rp 1,5 juta dan pinjam lagi di Koperasi Rp 1 juta. Saya pinjam itu ditemani pak Pehe, karena kalau saya sendiri mereka tidak akan berikan,” ujarnya.

Saddil resmi bergabung di ASIFA pada tahun itu. Hanya butuh satu tahun, Saddil sudah ditarik memperkuat timnas. Bahkan, tenaganya dipakai klub Persela Lamongan.

Kini, Saddil telah menjadi bintang timnas. Pemain yang dulu dibuang dari kampung halamannya karena dianggap sakit mentalnya. Entah siapa yang sakit mentalnya. (Bersambung).

Penulis : La Ode Pandi Sartiman

Facebook Comments