Kasus Bayi Meninggal Dalam Kandungan di Muna, Kuasa Hukum Anggap Dokter Bertindak Benar

LM Syahribin Hipno


Raha, Inilahsultra.com – Kuasa hukum dr H. L. Tamsila, LM Syahribin Hipno membantah kliennya telah menelantarkan pasien ibu hamil, Ny Reni yang masuk RSUD Muna pada 8 September 2017, sebagaimana tuduhan salah satu keluarga pasien, Machdin Mandar.
Menurutnya, bayi meninggal dalam kandungan yang dialami Ny Reni, tidak boleh disimpulkan sebagai penelantaran pasien. Pasalnya, saat masuk rumah sakit, Ny Reni sudah diberi tindakan medis.
Berupa penyiapan tempat tidur, dianamnese, pasang infuse, pasang cateter, lapor dokter serta observasi lahir normal.
“Sehingga klien kami tidak pernah melakukan penelantaran pasien seperti yang dituduhkan oleh Machdin di akun facebook hingga beberapa media massa lainnnya,” kata Syahribin beberapa hari lalu.
Dia menuding, Machdin Mandar seolah-olah paham betul akan profesi keilmuan dokter spesialis kandungan. Padahal, dokter harus bekerja sesuai dengan prosedur tetap keilmuannya. Apalagi dokter tidak boleh diintervensi.
“Karena dokter mempunyai kelembagaan dan terikat akan aturan-aturan,” tegas Syahribin.
Syahribin menjelaskan, ketika kliennya menangani pasien atas Ny. Reni yang masuk RSUD Muna tanggal 8 September 2017 pukul 14:30 wita, sudah dalam kondisi inpartu didampingi oleh bidan Masria (Bidan Desa). Ketika itu, pasien tidak membawa surat rujukan dan patograf.
Patograf dibutuhkan untuk menjelaskan kondisi pasien sebelum dirujuk dan alasan dirujuk maupun keadaan ibu dan bayi.
Ketika itu Reni mengaku sudah diobservasi di rumah bidan Masria selama satu hari. Kemudian Reni dipulangkan kembali ke rumahnya.
“Klien saya tidak tahu apa yang dilakukan oleh bidan karena tidak mempunyai patograf dan surat rujukan saat dibawa ke RSUD Muna,” terang Syahribin.
Saat masuk RSUD Muna, petugas bidan jaga melakukan dianamnese. Ketika itu Reni mengaku bayinya sudah tidak bergerak sejak pagi sebelum masuk RSUD. Namun petugas jaga tetap memantau denyut jantung janin (DJJ) secara berkala. Namun tidak ditemukan denyut jantung janin.
“Sehingga hasil tersebut dilaporkan pada dr. Tamsila,” jelas Syahribin.
Dr Tamsila kemudian menginstruksikan observasi lahir normal namun harus menunggu pembukaan lengkap yang tidak dapat dipastikan kapan waktunya. Apalagi kasus kematian janin dalam rahim (KJDR).

“Dokter tentunya tidak bisa berada 1×24 jam disisi pasien, apalagi dokter ahli kandungan yang notabene hanya sendiri di RSUD Muna. Mengenai terlambat dioperasi tentu pasien dengan kasus KJDR sebaiknya partus normal dan tetap dipantau sesuai prosedur yang ada” jelasnya.

Kata Syahribin, sebelum melakukan operasi, bidan mengulang memantau denyut jantung janin melalui dopler. Saat itu spontan diinformasikan kepada dokter bahwa masih ada denyut jantung janin. Sehingga dilakukan tindakan operasi.
Suami pasien ketika itu, lanjut Syahribin, menandatangani pernyataan persetujuan bersedia melengkapi kekurangan alat dan bahan operasi.
“Dokter secara pribadi tidak pernah meminta untuk membeli obat ke apoteknya. Sementara obat yang diberikan merupakan obat yang tidak bebas dijual. Untuk mendapatkan harus melalui prosedur menggunakan SP psikotropika, tanda tangan kadis kesehatan, ada yang berkompeten memesan obat. Yang bisa lakukan rumah sakit dan Klinik” paparnya.
Operasi ketika itu, kata Syahribin, berjalan lancar. Ibu selamat namun bayi meninggal. Saat itu bayi kondisinya kulit melepuh pecah, plasenta membiru, perut bengkak, air ketuban berbau dan berubah warna.
“kondisi ini menunjukkan bahwa bayi meninggal dalam tahap masarase tingkat II yang artinya bayi meninggal lebih dari 2×24 jam didalam rahim ibu dan kondisi kehamilan lewat bulan. Sementara Ny. Reni masuk di RSUD belum cukup 1×24 jam,” tegasnya.
Reporter: Iman
Editor: Din
Facebook Comments

-Advertisement-