
Ketua panitia daerah kegiatan workshop ketatanegaraan, Zulfikar, saat memandu jalannya diskusi.
Kendari, Inilahsultra.com – Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) bekerja sama dengan Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari Sulawesi Tenggara (Sultra) menggelar workshop ketatanegaraan di Swiss-belHotel Kendari, mulai Jumat 20 Oktober hingga Sabtu 21 Oktober 2017.
Kegiatan bertajuk ‘Penegasan Sistem Presidensiil’ tersebut diikuti 30 peserta dari berbagai unsur meliputi pakar/akademisi, pimpinan DPRD Sultra, pejabat pemerintah provinsi, KPU dan Bawaslu, Badan Kesbangpol, dan tokoh masyarakat.
Hadir dalam kegiatan itu, mantan rector UHO Kendari Prof Usman Rianse, Ketua DPRD Sultra Abdurrahman Saleh, pengamat politik Sultra Prof Eka Suaib, serta akademisi dan tokoh masyarakat lainnya.
Ketua panitia daerah kegiatan tersebut, Zulfikar SP MP, menyampaikan,workshop ketatanegaraan ini dilaksanakan untuk memperoleh masukan dari para pakar/akademisi, praktisi, tokoh masyarakat mengenai langkah-langkah yang perlu ditempuh untuk semakin mempertegas sistem pemerintahan presidensiil sebagai tindak lanjut dari rekomendasi MPR RI yakni melakukan penataan sistem ketatanegaraan melalui perubahan kelima UUD 45.
Zulfikar menjelaskan, sistem presidensiil yang dianut oleh UUD 45 memang seharusnya membentuk posisi yang kuat bagi presiden sebagai kepala pemerintahan, tanpa menafikkan dan mengabaikan peran DPR melalui fungsi pengawasannya.
“Pengalaman dua pemerintahan rezim Soekarno dan Soeharto, sistem presidensiil melahirkan executive heavy dimana posisi presiden sangat kuat sehingga dengan posisi dan otoritasnya seperti itu tidak memberikan ruang bagi DPR untuk menjalankan fungsinya sebagai pengimbang dan pengawas,” jelas Zulfikar.
Dosen UHO Kendari ini menambahkan, era reformasi membawa euphoria politik termasuk tuntutan partisipasi masyarakat yang luas yang kemudian terwakili oleh banyak partai politik yang mendorong upaya perubahan dengan memperkuat peran DPR melalui amandemen.
Sayangnya, kata dia, perubahan ini tidak secara tuntas menyelesaikan model ketatanegaraan yang dibangun. Konstitusi yang telah menguatkan DPR disatu sisi, ternyata disisi lain tetap mengakui tetap mengakui sistem pemerintahan presidensiil.
Akibatnya, lanjut dia, dalam praktik sistem presidensiil ini menjadi tidak efektif untuk menguatkan kewenangan presiden, karena setiap keputusan dan kebijakan yang diambil oleh presiden tidak serta merta dapat dilaksanakan tanpa persetujuan DPR.
Oleh karena itu, kata Zulfikar, melalui workshop ini dapat melahirkan pemikiran-pemikiran dalam rangka mempertegas sistem pemerintahan presidensiil yang dianut saat ini.
“Paling tidak, dapat menguatkan kewenangan presiden terutama menyangkut isu atau masalah yang dapat dirumuskan dalam beberapa pernyataan mengenai usulan ide dan gagasan yang berkembang di masyarakat,” tandasnya.
Penulis: Jumaddin Arif