Kasus Plagiat Karya Ilmiah Muhammad Zamrun Firihu, antara Ombusdman dan Kemenristekdikti

Prof. La Ode Muhammad Aslan

Kendari, Inilahsultra.com – Setelah tak terdengar beberapa lama, kini isu plagiat karya ilmiah Muhammad Zamrun Firihu, yang juga merupakan Rektor Universitas Halu Oleo, mulai terdengar lagi. Tidak tanggung-tanggung 2 (dua) lembaga (Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi/Kemenristek Dikti dan Ombudsman RI) yang merepresentasikan institusi negara nyata-nyata berada dalam 2 (dua) kutub yang berbeda dalam menyimpulkan investigasi dugaan plagiat yang dilakukan oleh Dr. Muhammad Zamrun Firihu. Untuk memastikan status plagiasi yang dilakukan Muhammad Zamrun, pihak Direktorat Jenderal Sumberdaya Iptek dan Dikti pada Kemenristekdikti membentuk Tim Investigasi. Kesimpulan dari Tim Investigasi Kemenristekdikti (yang selanjutnya kami singkat Tim Investigasi) bahwa Muhammad Zamrun Firihu tidak terbukti melakukan plagiasi. Kesimpulan tersebut diperkuat oleh Prof. Ali Gufron, Direktur Jenderal Sumberdaya Iptek dan Dikti, dengan menyatakan bahwa sejumlah karya ilmiah yang dipermasalahkan bukan termasuk kedalam plagiarisme (http://sumberdaya.ristekdikti.go.id/index.php/2017/07/19/). Klarifikasi hasil investigasi juga dapat dilihat pada laman Direktur Jenderal Sumberdaya Ristek dan Dikti tanggal 22 Juli 2017 (http://sumberdaya.ristekdikti.go.id/index.php/2017/07/22).

Pada kutub yang berbeda, Ombudsman RI (ORI) setelah melakukan serangkaian proses yang mencakup pemeriksaan dokumen, permintaan keterangan pelapor dan terlapor (yaitu Muhammad Zamrun), permintaan keterangan atas Tim Investigasi bentukan Kemenristekdikti, permintaan pendapat para ahli dari beragam kepakaran (yang mencakup ahli fisika, ahli hukum dan ahli bahasa), serta serangkaian analisis, akhirnya mengeluarkan Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) tanggal 18 Januari 2018 yang berkaitan dengan kasus plagiasi Muhammad Zamrun Firihu. LAHP tersebut menyimpulkan bahwa karya ilmiah Sdr. Muhammad Zamrun Firihu jelas merupakan bentuk plagiat terhadap karya ilmiah orang lain.

-Advertisement-

Kesimpulan dua institusi Negara tersebut sungguh-sungguh bertentangan. Namun dari aspek kualitas investigasi, apa yang dilakukan oleh Ombudsman RI jauh lebih berkelas (qualified). Mengapa demikian? Jawabannya sangat sederhana.

Alasan Pertama, Ombudsman RI memanfaatkan peraturan perundang-undangan dalam menilai kasus plagiasi, diantaranya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi, serta Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Investigasi tentang plagiat memang harus dilakukan dengan kedua peraturan tersebut karena plagiat bukan saja masalah etika akademik, tetapi juga masuk dalam ranah pidana karena ciptaan yang dilindungi sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta Pasal 40 ayat (1) meliputi ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang dikelompokkan dalam buku, pamphlet, perwajahan karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lainnya.

Lalu bagaimana dengan pemeriksaan Tim Investigasi bentukan Kemenristekdikti? Ternyata Tim ini hanya melihat pada substansi/konten jurnal, namun tidak melakukan pemeriksaan tata cara penulisan karya ilmiah dalam hal mengutip karya ilmiah lainnya. Artinya bahwa dua peraturan perundang-undangan yang digunakan oleh Ombudsman RI di atas tidak digunakan oleh Tim Investigasi Kemenristekdikti dalam menilai dugaan plagiat Saudara Muhammad Zamrun Firihu. Di sinilah letak permasalahannya sehingga pemeriksaan Tim Investigasi Kemenristekdikti dapat dikatakan belum detail, tidak sistimatis dan tidak berlandaskan Permendiknas no. 17/2010 terhadap dugaan plagiat karya ilmiah Muhammad Zamrun Firihu.

Kesungguhan dan kejujuran Tim Investigasi bentukan Kemenristekdikti dalam memeriksa kasus plagiat ini sejujurnya sudah lama kami ragukan dan masih menjadi misteri besar khususnya bagi 30 Guru Besar UHO. Tim Guru besar UHO pernah  hadir  dalam pertemuan di ruang rapat Dirjen  Sumberdaya Iptek dan Dikti tanggal 18 Juli 2017 sekitar pukul 10.30-12.00 WIB yang dipimpin langsung oleh Prof. Ali Gufron. Fakta ini harus kami ungkap ke publik! Dalam pertemuan yang dihadiri juga oleh beberapa Dirjen Kemenristekdikti di ruang tersebut terungkap jelas bahwa Tim Investigasi tidak mengkaji aspek tata cara penulisan karya ilmiah dalam hal mengutip karya ilmiah lainnya yang sudah diatur dalam Permendiknas no 17 Tahun 2010. Padahal Permendiknas inilah yang juga digunakan di seluruh perguruan tinggi yang pernah mengalami kasus plagiat  baik di ITB, UGM maupun di Universitas besar lainnya di Indonesia.

Saat itu, tim 30 Guru Besar UHO mengkiritisi cara pemeriksaan dan dasar hukum yang digunakan, para anggota Tim Investigasi tidak dapat menjawab secara tegas alasan dari penggunaan  substansi sebagai paramater dalam menilai adanya plagiat dalam kasus Dr. Zamrun ini. Salah seorang anggota Tim Investigasi Prof. Terry Mart bahkan mengakui dalam pertemuan tersebut bahwa mereka hanya diminta mengkaji substansi penulisannya saja oleh pihak Kemenristekdikti. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya perbedaan hasil dan melahirkan kesimpulan bahwa Saudara Zamrun tidak plagiat. Kami pun saat itu keberatan, lalu berargumen dan menolak hasil kerja Tim Investigasi. Kami mempertanyakan alasan dan dasar hukum yang digunakan oleh Tim Investigasi khususnya tentang  mengapa Tim Investigasi Kemenristekdikti tidak mengunakan Permendiknas Nomor 17 Tahun 2010 sebagai acuan utama. Terjadi diskusi yang alot. Sehingga diakhir pertemuan, Profesor Ali Gufron menyimpulkan hasil diskusi tersebut bahwa “belum diputuskan apakah Sdr. Zamrun sudah melakukan tindakan plagiat atau tidak dan akan dilakukan proses pemeriksaan lebih lanjut”. Kesimpulan Profesor Ali Gufron tersebut disepakati oleh perwakilan 30 Guru Besar yang hadir.

Dokumentasi dan rangkuman hasil pertemuan pada tanggal 18 Juli 2017 itu masih kami miliki dan dapat dijadikan bukti otentik bahwa ada proses investigasi dari Tim Investigasi yang tidak prosedural,tidak rasional serta tidak berdasarkan aturan hukum yang jelas. Seusai pertemuan, pada siang hari di tanggal yang sama (18 Juli 2017), kami sangat terkejut dengan keluarnya pernyataan pihak Kemenristekdikti bahwa Dr. Zamrun tidak melakukan plagiat. Kami sangat terkejut atas pemutar-balikan fakta yang sangat berbeda dengan hasil pertemuan tersebut. Padahal yang memimpin dan menyimpulkan hasil pertemuan adalah Profesor Ali Gufron, yang juga dihadiri oleh beberapa Dirjen termasuk Irjen Kemenristekdikti. Penyampaian ke media yang secara nyata tidak sesuai fakta dengan hasil pertemuan yang dihadiri oleh kedua belah pihak (Tim Investigasi dan tim 30 Guru Besar UHO) itulah yang kami sebut sebagai hal fatal dan perlu disikapi dengan serta perlu diketahui oleh Bapak Menristekdikti.

Boleh jadi hasil pertemuan itu tidak disampaikan atau dilaporkan  secara utuh dan sejujur-jujurnya ke Bapak Menteri (Profesor Muhammad Nasir) sehingga Menristekdikti keliru dalam mengambil keputusan. Profesor Nasir seyogyanya dapat memeriksa ulang atau melakukan investigasi ulang terhadap pemutarbalikkan fakta hasil rapat tanggal 18 Juli 2017 yang lalu.

Dengan memanfaatkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi, khususnya Pasal 1 ayat (1), maka perbuatan plagiat harus memenuhi tiga unsur yaitu perbuatan sengaja atau tidak sengaja, mengutip sebagian atau seluruhnya, serta tanpa menyatakan sumber secara tepat dan memadai. Jadi pemeriksaan plagiat harus mempersandingkan karya ilmiah terduga plagiat dengan sumber rujukannya, lalu melihat keterdapatan ketiga unsur di atas. Dengan demikian pemeriksaan dugaan plagiat karya ilmiah dapat dilakukan oleh ahli manapun tanpa harus sebidang, sepanjang mengacu pada aturan di atas. Loh, kok bisa? Ya, tentu bisa. Buktinya Ketua Tim Evaluasi Kinerja Akademik (EKA) Kemenristekdikti, Profesor Supriadi Rustad yang merupakan seorang pakar bidang geofisika dapat mengulas dengan rapi dalam blog pribadinya tentang dugaan plagiat disertasi doktor bidang sosial di UNJ. Terlepas dari benar-tidaknya hasil investigasi yang dilakukan, Profesor Supriadi Rustad juga telah menggunakan tiga unsur di atas untuk mendefinisikan perbuatan plagiat.

Alasan kedua, mengapa pemeriksaan Ombudsman RI lebih berkelas adalah karena Ombudsman tidak saja meminta keterangan pihak pelapor (wakil 30 Guru Besar UHO) dan terlapor (Saudara Muhammad Zamrun Firihu), tetapi juga meminta keterangan Tim Investigasi bentukan Kemenristekdikti. Keterangan Tim Investigasi  Kemenristekdikti inilah yang membuka fakta sebenarnya seperti yang disampaikan di atas bahwa sesungguhnya mereka hanya melihat pada substansi/konten jurnal saja, dan tidak melakukan pemeriksaan tata cara penulisan karya ilmiah dalam hal mengutip karya ilmiah lainnya. Hal ini terungkap pada saat dialog antara Perwakilan Guru Besar UHO dengan Jajaran Eselon 1 Kemenristekdikti dan Tim Investigasi pada bulan Juli 2017 lalu, serta keterangan perwakilan Tim Investigasi Kemenristekdikti kepada Ombudsman RI.

Hal yang lebih mencengangkan lagi sebagaimana keterangan dari dua orang anggota Tim Investigasi Kemenristekdikti yaitu Prof. Dr. Ir. Adang Suwandi Ahmad dan Prof. Dr. Drs. Terry Mart sebagaimana tertulis dalam LAHP Ombudsman RI bahwa anggota Tim Investigasi tidak pernah melakukan rapat bersama dengan anggota lainnya, dan penilaian dilakukan oleh masing-masing anggota sesuai dengan permintaan Dirjen Sumberdaya Iptek dan Dikti Kemenristekdikti RI. Lah, bagaimana mungkin kesimpulan investigasi akan baik jika Tim yang bekerja saja tidak pernah melakukan rapat bersama untuk merumuskan hasil investigasinya? Lalu dibuatlah kesimpulan oleh pihak Kemenristekdikti sebagaimana termuat pada laman Direktorat Jenderal Sumberdaya Ristek dan Dikti. Dengan demikian menjadi tidak mengherankan jika kesimpulan yang dilakukan Prof. Ali Gufron, Dirjen Sumberdaya Iptek dan Dikti, dan Menteri Nasir menjadi kurang menenuhi standard operasional prosedur yang baku, akademik, dan rasional yang sebenarnya telah lama berlaku di Kemneristekdikti untuk penanganan kasus plagiat.

Alasan Ketiga, sudah hal yang lazim dan sudah berlangsung lama bahwa pihak Kemenrsitekdikti dalam mendalami kasus plagiat di suatu perguruan tinggi menggunakan tool /software Turnitin. Yang mengherankan dalam kasus tuduhan plagiat di UHO dalam hal ini diduga yang melibatkan  Dr. Zamrun, pihak Tim Investigasi sama sekali tidak menggunakan Turnitin, sedangkan untuk kasus tuduhan  plagiat di UNJ, disertasi para doktor diperiksa menggunakan Turnitin. Hal ini dapat menjadi indikasi jelas adanya perbedaan perlakuan (double standard) terhadap dua kasus yang sama. Hasil penelusuran menggunakan Turnitin untuk paper jurnal dari Sdr. Muhammad Zamrun menunjukkan kisaran similarity rata-rata di atas 50 persen. Bahkan ada tulisan jurnal Sdr. Zamrun di atas 70 persen.  Profesor Ali Gufron dalam sebuah acara talk show pada  salah satu stasiun televisi pernah menyatakan bahwa kadar kesamaan di atas 40 persen sudah masuk kategori plagiat. Wajar saja ketidaksamaan standar (double standard) membuat banyak hal yang meragukan dari cara dan hasil kerja  penilaian plagiat yang telah dilakukan oleh Tim Investigasi Kemenristekdikti terhadap tulisan ilmiah Sdr. Muhammad Zamrun. Lumrah pula jika pihak Ombudsman menyatakan adanya praktek maladministrasi di Kemenristekdikti terkait kasus plagiat ini.

Kasus plagiat ini sangat nyata sudah mencoreng dunia pendidikan kita. Lebih-lebih lagi hal ini dilakukan oleh seorang pimpinan Perguruan Tinggi (Rektor) yang seharusnya memberikan ketauladanan. Hal yang lebih miris lagi telah terjadi pertentangan yang tajam antara kesimpulan Kemenristekdikti dan Ombudsman RI. Pimpinan Nasional dalam hal ini Presiden sudah saatnya mengambil alih persoalan ini agar permasalahan ini tidak berlarut-larut terkhusus konflik antar institusi negara akibat penanganan kasus plagiat yang menggunakan standar hukum dan prosedur yang berbeda. Jelas kasus ini telah mengganggu bahkan nyata-nyata menghambat program besar Bapak Jokowi yang dikenal dengan Program Revolusi Mental.  Lebih-lebih lagi Perguruan Tinggi UHO merupakan aset nasional yang menjadi benteng utama yang menjaga nilai-nilai luhur bangsa, menjaga nilai-nilai kejujuran dan menjadi bagian utama dalam membangun karakter bangsa termasuk mengawal kesuksesan program Revolusi Mental. Di lain pihak, Kemenristekdikti seharusnya lebih jujur, terbuka dan mau menerima kenyataan serta patut berbangga bahwa pihak di luar Kemenristekdikti dalam hal ini Ombudsman RI telah membantu mengkaji secara faktual dan berbasis legal standing yang jelas bahwa plagiarisme di UHO benar adanya. Kemenristekdikti sudah tidak perlu lagi ragu dan berani bertindak tegas dengan  menjatuhkan sanksi berat bagi pelaku plagiat di UHO sesuai peraturan perundang-undangan yang ada.

Tidak berlebihan bila  kita perlu belajar dan mengambil teladan dari  kasus serupa yang pernah terjadi di UGM, Jogjakarta. Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unversitas Gadjah Mada, Dr.  Anggito Abimanyu mengundurkan diri dari institusi tempatnya mengajar menyusul indikasi plagiat terhadap tulisan Hotbonar Sinaga. Langkah kesatria yang perlu ditiru dari beliau semata-mata demi menjaga marwah dan kredibilitas UGM, termasuk nilai-nilai kejujuran, integritas, dan tanggung jawab akademiknya. Pengunduran diri beliau tersebut terkait dengan artikel opini yang beliau tulis di surat kabar harian Kompas berjudul “Gagasan Asuransi Bencana” pada 10 Februari 2014.Ini kisah teladan pertama.

Kisah teladan lain yang perlu ditiru adalah, sikap dari Menteri Pertahanan Jerman Karl-Theodor zu Guttenberg yang mengundurkan diri setelah beliau  dilaporkan menulis tesis doktor yang sebagian besar adalah hasil contekan pada tahun 2006. Puluhan ribu akademisi Jerman saat itu telah menulis surat kepada Kanselir Angela Merkel dan mengeluhkan tindakan plagiat Guttenberg itu. Kasus plagiat ini telah  membuat beliau dijuluki Baron Cut-and-Paste (Paduka potong dan tempel) dari media Jerman. Kita harap dalam kasus yang terjadi di UHO akan muncul kestaria baru yang dapat menjadi teladan buat para akademisi di UHO khususnya dan di Indonesia pada umumnya. Insyaa Allah. Aamiin!!!

Oleh: Prof. La Ode Muhammad Aslan

(Ketua tim 30 Guru Besar Universitas Halu Oleo)

Facebook Comments