
Oleh : La Ode Rahmat Apiti
Selekasi calon Aparatur Sipil Negara (ASN) yang saat ini sedang berlangsung menjadi sorotan publik terkait dengan minimnya kelulusan peserta. Tingginya passing grade yang ditetapkan pemerintah nampaknya melahirkan banyak “korban” calon ASN.
Ada tiga kategori materi soal soal tes kompetensi dasar (TKD) yang harus memenuhi passing grade calon ASN.
Pertama, tes wawasan kebangsaan. Kedua, tes intelegensi umum. Ketiga, tes karakteristik pribadi.
Tiga materi TKD ini menjadi “ranjau” bagi peserta bahkan agar bisa lulus para peserta suda menggunakan cara yang tidak logis. Di Kabupaten Madiun misalnya ada peserta yang menggunakan jimat agar bisa lulus TKD bahkan di Sultra rumah para dukun pun ramai dikunjungi oleh calon peserta agar lulus dari “ranjau” TKD sebuah cara jalan pintas yang tidak rasional.
Sejak gelombang pertama peserta mengikuti tes peserta mulai berguguran. Kabupaten Muna misalnya dari 240 orang yang ikut seleksi, gelombang pertama hanya menyisakan 3 orang untuk seleksi ke tahap selanjutnya.
Pemerintah menetapkan standar yang tinggi tentu saja bukan lahir semalam tapi sudah melalui prosedur dan atau kajian yang melibatkan berbagai stakeholder.
Selama beberapa dekade seleksi ASN, yang menjadi sumber kegaduhan adalah kongkalingkong para pejabat lokal yang memicu lahirnya birokrat birokrat yang pemalas dan biang konservatisme.
Berbagai kasus suap dan nepotisme tidak bisa dihindari bila seleksi ASN masih menggunakan paradigma lama. Kasus suap CPNS Bombana misalnya yang melibatkan kepala BKD serta oknum anggota DPRD merupakan kasus suap CPNS terheboh di Sultra.
Mencari ASN yang berkualitas memang tidak gampang dan tantangan akan muncul dari pihak pihak-pihak yang masih nyaman dan diuntungkan secara ekonomi dan politik dengan pola lama.
Para kepala daerah juga ikut-ikutan mengeluh dengan minimnya peserta yang lulus sehingga ada inisiatif untuk melobi Menpan-RB. Alasan mereka sangat sederhana karena masih kekurangan sumber daya manusia namun menurut hemat penulis sesunggunya bukan kekurangan tapi kacau balaunya penataaan SDM birokrasi.
Misalnya, seorang guru yang tiba-tiba menjadi kepala dinas pertambangan atau pertanian. Seharusnya yang dilakukan adalah menata kembali birokrasi sehingga tidak terjadi kekurangan SDM atau mengembalikan para birokrat ke jalan yang benar sesuai dengan disiplin keilmuannya.
Kebijakan pemerintah berupa mekanisme CAT untuk seleksi ASN bertujuan untuk beberapa hal.
Pertama, mencari ASN yang berkualitas. Bila kita menghendaki birokrasi ke depan yang berkualiatas, kreatif, inovatif dan tidak koruptif harus dimulai dengan seleksi yang ketat. Dengan seleksi saat ini setidaknya dari sisi kualitas sudah tidak diragukan lagi sehingga ketika mereka menjadi abdi negara bisa lahir agenda-agenda inovatif dari ASN-ASN yang berkualitas sehingga pelayanan kepada masyarakat makin baik dan tidak ada lagi birokrat yang persulit melayani masyarakat dan koruptif.
Pembenahan birokrasi memang harus dilakukan dengan berbagai tantangan yang muncul tapi inilah momentumnya agar negara bisa bebas dari selimut birokrat birokrat feodal dan “anti” perubahan.
Kedua, mengikis kolusi, korupsi dan nepotisme. Selama puluhan tahun seleksi ASN menjadi “ladang” KKN. Suap menyuap antara calon PNS dan pejabat lokal menjadi “menu” wajib untuk bisa lulus menjadi ASN. Selain itu peserta yang lulus didominasi dari keluarga elit-elit lokal dan tentu saja hasil transaksi jual beli dan atau PNS yang lulus melalui jalur “transaksi” dengan menyetor upeti juga ikut mendominasi.
Efek samping dari semua ini yakni bobroknya kualitas birokrasi, pemalas dan “miskin” inovasi akibatnya pelayanan kepada masyarakat terabaikan.
Bila mau menjadi ASN siapkan diri anda belajar dengan baik, beban negara dan kerugian negara akibat ulah ASN-ASN yang tidak berkualitas sudah menjadi momok publik.
Para bupati dan wali kota sebaiknya mengurungkan niatnya untuk tidak melakukan berbagai manufer agar “Jakarta” melunak supaya ada kebijakan altenatif yang diberikan untuk mengakomodasi calon ASN yang tidak lulus TKD karena tidak memenuhi syarat passing grade.
Para kepala daerah seharusnya tidak menempuh cara ini sebab ketidaklulusan mereka akibat dari kualitas serta juga tidak berdampak p
ada keruntuhan pemda dan tidak akan mengikis “omset”politik para bupati/wali kota.
Mengakomodasi ASN yang tidak lulus seleksi sama halnya dengan membuka peluang menjamurnya ASN yang tidak berkualitas di negeri ini dan ini berlawanan dengan ageda reformasi birokrasi.
Agenda reformasi birokrasi pemerintah harus didukung oleh berbagai stakeholder bila kita menghendaki mau mengubah mentalitas ASN dan salah satu cara yang baik adalah dengan menyeleksi ketat calon ASN.
Negara selama ini terbebani dengan “selimut” birokrasi yang koruptif, minim inovasi dan boros menggunkan anggaran. Maka sudah saatnya mentalitas birokrasi yang merugikan negara dan masyarakat harus diputus mata rantainya. Dan kita doakan yang saat ini sedang menempuh seleksi ASN agar lulus dan tanpa mengalami hambatan berarti.
Penulis : La Ode Rahmat Apiti
Direktur AMAN Center dan Rajiun Center