Data Walhi : Dari 243 Perusahaan, Hanya 3 yang Melakukan Reklamasi

Bacakan

Kendari, Inilahsultra.com – Sistem pertambangan di Sultra benar-benar bermasalah. Dari 243 izin usaha pertambangan (IUP) yang beroperasi di Sultra, hanya 3 perusahaan yang diketahui melakukan reklamasi.

Hal ini diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sultra Saharuddin, Selasa 12 Februari 2019.

Ia menyebut, sepengetahuan dia, dua perusahaan bergerak di pertambangan nikel yang baru melakukan reklamasi adalah PT Aneka Tambang (Antam) dan PT Integra. Sedangkan satunya, PT Wika Bitumen yang bergerak di sektor tambang aspal.

“Yang lakukan reklamasi baru dua, Antam dan Integra di sektor nikel. Kalau aspal, baru Wika Bitumen. Itu dari semua perusahaan yang ada di Sultra,” ungkap Saharuddin.

Tidak adanya reklamasi paskatambang ini, tentu mengancam daerah ini dalam kerusakan lingkungan.

Pernyataan Saharuddin ini komparatif dengan penjelasan Kepala Bidang Mineral dan Batubara (Minerba) Dinas ESDM Sultra Yusmin.

Menurut Yusmin, total kerugian Negara akibat aktivitas tambang yang tidak membayar royalti hingga iuran tetap mulai 2015 sebesar Rp 265 miliar.

Total kerugian Negara ini, sebut Yusmin, di luar jaminan reklamasi yang disimpan di bank oleh perusahaan bersama pemerintah.

“Itu tidak termasuk jamrek. Ngeri barang ini. Kerugian Negara sangat besar,” kata Yusmin beberapa waktu lalu.

Terkait jamrek, Yusmin menjelaskan, sampai hari ini, seluruh kabupaten atau kota belum menyerahkan administrasi jamrek semenjak peralihan pengurusan tambang ke provinsi.

Menurut Yusmin, selain pengambilalihan kewenangan, kabupaten atau kota harusnya ikut menyerahkan dokumen jamrek ke provinsi. Selama ini, saat kewenangan perizinan tambang ada di bupati, jamrek dibayar di kabupaten

“Pertanyaannya sekarang, dimana uang itu (jamrek). Disimpan di mana,” kata Yusmin.
Sejauh ini, dari 17 kabupaten atau kota, baru Kolaka Utara yang mengajukan permohonan tentang penyerahan dokumen jamrek.

“Itu pun baru bermohon. Belum menyerahkan. Konut, Konsel, Buton belum menyerahkan,” jelasnya.

Tidak adanya dokumen jamrek pada saat pengambilalihan kewenangan ini, patut diduga administrasinya tidak tuntas. Terlebih, bila dikaitkan dengan data Walhi Sultra, uang jamrek ada di bank dan kemungkinan tidak dicairkan.

Atau boleh jadi, dana jamrek ini sudah cair, namun tidak terealisasi di lapangan.

“Ini harus diperiksa KPK. Dana jamrek ini cukup besar, miliaran,” tegas Yusmin.

Terhadap masalah ini, Udin pun sependapat dengan Yusmin tentang pentingnya transparansi pengelolaan jamrek. Termasuk rencana pertambangan yang ikut berimplikasi pada reklamasi paskatambang.

Menurut Saharuddin, dana jamrek ini kemudian disetor ke rekening bersama yang di dalamnya bertanda tangan perusahaan dan pemerintah. Dana jamrek ini menjadi salah satu syarat bagi perusahaan untuk mendapatkan kuota pertambangan.

“Tanpa ada jaminan itu, maka tidak bisa menambang,” kata Saharuddin.

Dalam merealisasikan jamrek nantinya, di situlah pentingnya adanya kepala teknis tambang (KTT). KTT ini yang akan mempresentasikan terkait rencana penambangan.

Dalam presentase itu, KTT menjelaskan perihal luasan IUP dan rencana penambangan dan blok operasi produksi. Bukan berarti, semua IUP yang dimiliki perusahaan langsung digarap secara keseluruhan.

“Jadi, menambang itu bukan seluruh IUP-nya. Tapi, diblok-blok. Setelah blok satu selesai, pindah di blok satunya. Yang sudah ditinggalkan itu, lalu direklamasi. Bukan hanya menanam pohon, tapi mengembalikan juga tanahnya,” bebernya.

Menurut Udin, aneh bila ESDM kemudian tidak mengetahui blok mana saja yang harus ditambang.

“Blok ini harus ditahu. ESDM harusnya tahu. Bisa juga minta dokumen perusahaan, mana dokumen perencanaan penambangan masing-masing perusahaan,” ujarnya.

Data-data dan dokumen ini, kata Udin, penting untuk diketahui publik termasuk masyarakat sekitar. Sebab, ini menyangkut keselamatan lingkungan warga yang berada di sekitar tambang.

“Kita hanya lihat buka lahan dan katingan tanah, tapi tidak ada penjelasan soal ini dari ESDM. Dokumen itu harusnya dibuka ke publik. Misalnya, masyarakat Pomalaa harus tahu tentang rencana penambangan,” tuturnya.

“Untuk apa ada KTT, tapi semua lokasi ditambang. Bagaimana mau kendalikan lingkungannya, kalau semberawut menambang,” pungkasnya.

Penulis : La Ode Pandi Sartiman

Facebook Comments