Kendari, Inilahsultra.com – Fenomena pemberian izin usaha pertambangan (IUP) di Sulawesi Tenggara yang cenderung jor-joran, tidak hanya menimbulkan kerusakan lingkungan.
Lebih dari itu, tambang memiliki daya rusak paling moncer terhadap kehidupan sosial, perubahan nilai dan tingkah laku masyarakat hingga luruhnya budaya ketimuran.
Selain itu, dampak ekonomi patut pula diperhitungkan. Sebab, banyak daerah dengan kekayaan mineral dikandungnya, tidak menjamin masyarakat di sekitar sejahtera.
Sebaliknya, banyak masyarakat harus menjalani kehidupan lebih sulit di tengah melejitnya harga kebutuhan bahan pokok akibat doktrinasi tambang yang bergelimbang keuntungan. Padahal, tambang hanya menguntungkan segelintir orang.
Bila menengok satu daerah sebelum tambang datang, warga tak perlu repot mengeluarkan duit banyak untuk belanja beras, misal. Cukup ke belakang rumah, tebang pohon sagu. Atau, cukup mencabut ubi di kebun belakang.
Segala dampak yang timbul ini, perempuan yang paling merasakannya. Ini bukan hanya melulu ancaman kesehatan terhadap raganya. Lebih dari itu, tambang bisa mengubah mental, sosial dan tingkah laku dalam bertahan hidup.
“Tambang itu bukan pekerjaan yang ramah bagi perempuan,” ungkap Direktur Aliansi Perempuan (Alpen) Sultra Hasmida Karim dalam konferensi pers kaolisi masyarakat sipil di salah satu warung kopi di Kota Kendari, Jumat 8 Maret 2019.
Sepanjang tahun 2018 terdapat 155 kasus kekerasan terhadap perempuan di Provinsi Sulawesi Tenggara. Rata-rata bentuk kekerasan yang terjadi adalah kekerasan seksual seperti pemerkosaan, pelecehan seksual, pencabulan dan prostitusi paksa.
Beberapa kasus kekerasan juga terlaporkan berasal dari daerah dengan pengembangan sektor pertambangan contoh dari Kabupaten Konawe, Konawe Selatan, Kolaka dan Bombana.
Salah satu faktor penyebab adanya kekerasan ini adalah faktor ekonomi, Ini akibat dari lahan pertanian atau perkebunan masyarakat beralih fungsi menjadi lahan pertambangan, yang berakibat meminggirkan akses dan kontrol perempuan dari sumber-sumber penghidupannya.
“Sehingga memperburuk kualitas hidup perempuan sebab mereka rentan kehilangan sumber pangan dan mengalami kondisi kesehatan yang dapat mengakibatkan kehilangan nyawanya,” jelas Hasmida.
Di 2018 data yang dihimpun oleh Solidaritas Perempuan Kendari tercatat dari 2015-2018 sebanyak 357 orang perempuan Konawe memilih menjadi buruh migran, mengadu nasib dan mencari sumber-sumber penghidupan di luar negeri.
“Menjadi buruh migran atau menikah di usia anak merupakan pilihan instan yang terlintas di benak mereka untuk dapat menyambung hidupnya dan keluarganya,” kata Ketua Badan Eksekutif Komunitas Solidaritas Perempuan Kendari Wa Ode Surtiningsi.
Mayoritas, warga yang memilih menjadi buruh migran ini mereka yang sudah tidak bisa lagi mengelola lahannya sendiri akibat ekspansi sektor pertambangan.
“Ketika lahan pertanian sudah beralih fungsi ke tambang, maka otomatis warganya digiring untuk ke pertambangan. Tapi, dunia tambang ini tidak tepat bagi kaum perempuan,” katanya.
Tak hanya itu, ia juga mengungkapkan data terkait perubahan gaya hidup masyarakat di Kecamatan Morosi. Ada banyak perempuan muda tereksploitasi secara seksual dan terlibat kawin kontrak dengan tenaga kerja lokal maupun asing.
“Data yang kami peroleh, ada eksploitasi seksual di sana. Bahkan, sudah ada pos-pos untuk menampung perempuan. Kita belum cek dari mana saja asal mereka ini,” katanya.
Penyakit Kota Masuk Desa
Data penjangkauan perempuan pekerja seks yang dihimpun oleh Alpen-Sultra sebanyak 933 orang di Kota Kendari dan sekitar 5 persen adalah pekerja seks usia anak. Data di muka, boleh dibilang mengalami kenaikan dari tahun ke tahun hingga 2010.
Pekerja seks yang didata ini kebanyakan dari warga lokal. Ada juga dari luar daerah Sultra, namun jumlahnya tidak seberapa.
Khusus di Kota Kendari, Alpen Sultra mencatat, ada pekerja seks yang bekerja di lokalisasi tertentu dan ada pula bekerja secara freelance atau sebatas panggilan.
“Yang freelance ini bekerja tidak menetap,” ujarnya.
Menurut Hasmida, fenomena ini tidak terlepas dari perubahan gaya hidup dan nilai sosial yang bermula hadirnya industri ekstraktif. Bahkan, kata dia, di Bombana, pihaknya menemukan adanya pekerja seks anak di bawah umur.
“Ada banyak lahan di Bombana beralih fungsi menjadi sektor pertambangan. Secara fisik, perempuan tidak mampu kelola pertambangan, skilnya tidak di situ. Dia hanya bisa kelola perkebunan dan pertanian,” ujarnya.
Menolak Tambang di Wawonii
Di tengah gencarnya penolakan tambang di Pulau Wawonii, Aliansi Perempuan Sultra ikut angkat bicara. Menurut Mida, fenomena yang terjadi di beberapa daerah di Sultra yang menjadi lokasi industrialisasi pertambangan bisa jadi akan mewabah di Kabupaten Konawe Kepulauan.
Untuk itu, penolakan terhadap kehadiran tambang di sana, sesuatu yang mutlak untuk disuarakan dari semua kalangan, termasuk kaum perempuan.
“Selain jelas melanggar aturan, tambang di Konkep juga menjadi ancaman baru bagi kaum perempuan di sana,” ujarnya.
Sementara itu, Solidaritas Perempuan Sultra mengungkap, Wawonii dengan latarbelakang budaya dan kultur yang amat kental, bisa saja tergerus dengan masuknya tambang.
Selain mengancam kultur, tambang juga bisa mengancam lingkungan, alam yang selama ini menjadi penyangga kebutuhan mereka.
Di Konkep paling terkenal dengan pertanian, perikanan dan pariwisatanya. Bila tambang beroperasi, pertanian akan sulit berkembang dan bersaing dengan tambang. Sebab, kebanyakan lahan sudah dicaplok untuk kepentingan industry eksraktif.
Kemudian laut, tidak bisa lagi dikelola dengan baik karena sudah tercemar dengan aktvitas tambang di pesisir.
Lebih-lebih pariwisata. Tambang dan pariwisata ibarat dua kutub yang saling berlawanan. Hadirnya tambang, kebanyakan merusak pariwisata.
Bila tambang pada akhirnya beroperasi di Wawonii, maka hanya segelintir masyarakat yang memiliki skil untuk bekerja.
Lantas, bagi masyarakat yang tidak terakomodir di pabrik tambang, maka mereka memilih melakukan penambangan illegal di gunung-gunung.
Tentunya, penambangan illegal ikut berdampak pada kesehatan, terlebih kaum perempuan. Sebab, tambang illegal selalu menggunakan mercuri untuk memisahkan tanah dengan kandungan mineral.
“Ini bisa memicu penyakit baru bagi perempuan, khususnya penyakit reproduksi. Ini yang kita takutkan terjadi di Wawonii. Makanya, kami ikut menolak tambang beroperasi di daerah itu,” ujarnya.
Dengan seluruh kekhawatiran itu lah, koalisi masyarakat sipil di Sultra menolak hadirnya tambang di Pulau Wawonii.
Penulis : La Ode Pandi Sartiman