La Mbaru, Kolektor Ratusan Mata Uang Jepang di Muna Barat

La Mbaru memperlihatkan uang Jepang yang disimpannya
Bacakan

Laworo, Inilahsultra.com – Ratusan lembar uang kertas Jepang diikat begitu rapi dalam kantong plastik.

Beberapa lembar, terlihat sudah tak utuh lagi. Maklum, usianya sudah terbilang puluhan tahun.

-Advertisement-

Uang dengan nominal yang beragam itu disimpan di tempat tertutup oleh La Mbaru (63).

Ia mengaku, sudah tak tahu lagi berapa usia uang tersebut. Namun paling tidak ia mengetahui uang itu dari kedua orang tuanya, La Malensi dan Wa Tofa.

Waktu itu, ia berusia 12 dan diperlihatkan berbagai jenis uang yang beredar di zaman penjajahan hingga masa kemerdekaan Indonesia.

Jurnalis Inilahsultra.com, menemui La Mbaru bersama istrinya Wa Dia (62) serta anak-anaknya di Kelurahan Lapadaku Kecamatan Lawa Kabupaten Muna Barat, Jumat 7 Juni 2019.

Kebetulan, La Mbaru bersama keluarga lagi santai di rumah panggung berdinding papan itu.

La Mbaru berkisah, uang ini merupakan warisan peninggalan orang tuanya yang diperlihatkan sebelum meninggal. Waktu itu, ia berumur 12 tahun.

Selain menitipkan uang Jepang, ia juga diperlihatkan uang Indonesia yang orang Muna sebut Ghalo.

Jenis uang ini, sebut dia, cukup lebar bila dibandingkan dengan uang yang beredar saat ini.

Jumlah uang Ghalo ini, sebut dia, cukup banyak. Disimpan dalam sebuah kain yang menyerupai bantal.

“Sampai dua bantal itu. Banyak sekali kita simpan,” katanya.

Namun sayang, uang itu sudah dikubur dengan orang tuanya yang mangkat sekira 90-an.

Selain uang jepang dan uang Indonesia, ia juga diwariskan uang logam. Hanya saja, ia sudah menjualnya kepada orang lain dengan harga murah.

“Katanya, uang logam itu dibutuhkan untuk membuat peluru. Sudah dijual di orang Lombe. Jumlahnya banyak,” jelasnya.

Jauh sebelum mengenal mata uang, masyarakat Muna hanya mengenal barter atau sistem jual beli menukar barang dengan barang.

Namun, seiring waktu masuknya Belanda hingga berpindah ke Jepang dalam sistem penjajahan, masyarakat Muna diperkenalkan alat tukar ini.

Ia pun memperkirakan, uang Jepang itu ada sejak 1943 sampai 1960 setelah Indonesia merdeka.

Ia mengaku, uang Jepang ini ada saat orang tuanya aktif menjual hasil pertaniannya ke warga kota. Di situ lah, banyak hasil panennya dibeli oleh warga dengan mata uang Jepang.

“Orang tua saya kan penjual jagung, jual kacang. Mereka beli dengan uang Jepang ini,” jelasnya.

Tak hanya itu, ia juga menyimpan uang Rp 100 mata uang Indonesia bergambar kapal pinisi berwarna merah.

La Mbaru mengatakan, uang ini sempat akan dibuang karena dianggap sampah. Hanya saja, masih ingin menyimpannya menghargai jerih payah orang tuanya.

“Katanya keluargaku, untuk apa itu uang, buang mi. Tapi saya bilang ini kecapean orang tuaku. Jadi disimpan baik-baik,” jelasnya.

Uang Jepang Beredar di Indonesia

Julianto Susantio dalam artikel yang diunggah di Kompasiana.com menulis, saat proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, hanya uang kertas Jepang yang dinyatakan sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah RI. Meskipun demikian, bekas uang pemerintah Hindia Belanda, masih tetap beredar luas di kalangan masyarakat.

Berbagai jenis uang jepang yang dikoleksi La Mbaru

Uniknya, ketika itu beredar tiga jenis uang kertas Jepang sekaligus. Yang paling dikenal adalah uang kertas yang sudah dipersiapkan Jepang sebelum menguasai Indonesia. Uang itu menggunakan bahasa Belanda, De Japansche Regeering (1942). Emisi yang diterbitkan memiliki nominal 1 Cent, 5 Cent, 10 Cent, ½ Gulden, 1 Gulden, 5 Gulden, dan 10 Gulden.

Semua nominal dicetak oleh Djakarta Insiatsu Kodjo, yakni percetakan milik Kementerian Keuangan Jepang. Ciri utamanya adalah berkode ‘S’, misalnya SL, SN, dan S23. Ini tidak ubahnya nomor seri pada uang-uang kertas modern.

Huruf ‘S’ merupakan tanda untuk uang pendudukan Jepang di Indonesia. Pada saat bersamaan terdapat pula uang pendudukan Jepang di Semenanjung Malaya berkode ‘M’ dengan satuan dollar, di Filipina berkode ‘P’ dengan satuan pesos, di Birma (Myanmar) berkode ‘B’ dengan satuan rupee, dan di Oceania berkode ‘O’ dengan satuan shilling.

Jenis kedua menggunakan bahasa Jepang aksara Latin, Dai Nippon Teikoku Seihu, emisi 1943. Nominal yang diterbitkan adalah Rp ½, Rp 1, Rp 5, Rp 10, dan Rp 100. Percetakannya masih tetap sama, yakni Djakarta Insiatsu Kodjo.

Tulisan Julianto Susantio ini sama dengan jenis uang yang disimpan La Mbaru. Hanya saja, ia menyimpan 5 jenis saja dengan nominal yang berbeda.

Terhadap seluruh uang itu, ia mengaku akan menjualnya. Hanya saja, ia tak tahu siapa yang akan membelinya.

“Mungkin kalau sudah ada beritanya, ada yang mau beli,” pungkasnya.

Penulis : La Ode Pandi Sartiman

Facebook Comments