Abdul Rahman, Capim KPK asal Sultra yang Mengedepankan Pencegahan

Abdul Rahman
Bacakan

Kendari, Inilahsultra.com – Sebanyak 192 nama calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah diumumkan oleh panitia seleksi. Dari ratusan nama itu, ada dua kader asal Sultra. Adalah La Ode M Syarif dan Abdul Rahman.

Nama terakhir boleh dibilang asing jika dibandingkan dengan La Ode M Syarif yang sudah lebih dulu melambung. Rahman adalah seorang pengacara terbilang kondang namanya di Sulawesi Tenggara. Namanya masuk pada urutan 2 Capim KPK.

-Advertisement-

Ditemui di salah satu warung kopi di Kota Kendari, Minggu 14 Juli 2019, Rahman tampil necis dengan tampilan baju putih, celana abu-abu sepatuh putih.

Banyak hal diungkapkan Rahman saat sesi wawancara berkait dengan motivasinya maju bersaing di lembaga antirasua hingga progres KPK saat ini dalam praktik pencegahannya.

Rahman mengaku, masuk di KPK tidak lah mudah. Lebih dahulu melewati seleksi administrasi yang syaratnya sangat ketat.

Setiap calon, harus mengisi formulir yang disiapkan KPK dengan jujur dan tak boleh memanipulasi data.

Karena ketatnya seleksi, dari 224 calon peserta, sebanyak 32 orang gugur di tahapan administrasi. Dari 224 orang itu, tercatat sebanyak 57 orang berlatar belakang pengacara. Sekarang tersisa 23 orang, termasuk dirinya.

“Menurut saya, tantangan yang paling terbesar bagi saya adalah di administrasi ini,” kata Rahman.

Lolosnya dia di tahapan pertama ini merupakan buah dari ketekunannya menyiapkan berkas selama dua bulan lamanya.

“Persoalan administrasi di KPK sangat ketat. Ada calon pimpinan KPK lima tahun lalu mendaftar, sekarang tidak lolos,” ujarnya.

Selain itu, proses scraning administrasi di tingkat pansel ikut melibatkan banyak pihak. Bahkan, Badan Intelijen Negara (BIN) ikut memberikan masukan kepada pansel terhadap rekam jejak calon pimpinan KPK.

Setelah tahapan administrasi, seluruh capim akan menjalani ujian kompetensi yang digelar pada 18 Juli 2019. Di sini, para peserta akan diwawancari langsung oleh pansel terkait pengetahuannya tentang tindak pidana korupsi.

“Di tahapan ini, saya hanya butuh kosentrasi belajar soal kompetensi mengenai pemahaman secara formal dan materil tindak pidana korupsi secara luas termasuk pembuatan makalah tentang akselereasi KPK dalam tindak pidana korupsi,” jelasnya.

Soal makalah, ia telah menyiapkannya sesuai dengan arahan yang diberikan pansel KPK.

Penulisan makalah ini terbilang sulit karena, calon pimpinan KPK dituntut untuk membuat strategi baru tentang pemberantasan korupsi di Indonesia.

“Pembuatan makalah ini, kita sudah diberikan batasan oleh pansel. Harus sekian halaman, tulisan pakai huruf ini. Tidak boleh ambil di google. Harus pemikiran sendiri berdasarkan literature yang dicari,” bebernya.

Khusus makalah ini, kata dia, disiapkan selama sebulan yang nantinya akan dipresentasekan di hadapan pansel.

Ingin Selamatkan Daerah

Banyaknya pejabat di Sultra yang diterungku KPK karena kasus korupsi, menjadi salah satu pemantik Rahman maju sebagai capim KPK.

Menurut dia, Sultra merupakan daerah yang terkenal di Jakarta karena praktik rasua ini. Misal, mantan Gubernur Sultra Nur Alam dicokok KPK karena terlibat suap. Termasuk, mantan Wali Kota Kendari Adriatma Dwi Putra dan ayahnya, Asrun, yang juga mantan Wali Kota Kendari menyandang status terpidana KPK.

Nama lain yang juga dieksekusi KPK adalah mantan Bupati Buton Umar Samiun dan mantan Bupati Buton Selatan Agus Feisal Hidayat. Terakhir yang statusnya menjadi tersangka KPK adalah mantan Bupati Konawe Utara Aswad Sulaiman.

“Saya ingin menyelamatkan daerah kita ini juga, karena Sultra paling banyak pejabat yang ditangkap. Setidaknya bisa meminimalisir pelaku tindak pidana korupsi, melalui pencegahan dan monitoring,” katanya.

Berangkat dari banyaknya kasus tadi, Rahman menyinggung tidak maksimalnya pencegahan dan monitoring yang dilakukan KPK. Ia juga menyindir La Ode M Syarif yang saat ini masih menjabat pimpinan KPK, belum maksimal memontoring dan mencegah praktik korupsi di Sultra.

“Selama ini, KPK cenderung fokus pada penegakan hukum dibandingkan pencegahan. Syarif harusnya mampu melakukan pencegahan di Sultra. Saya lihat, (Syarif), belum mampu (lakukan pencegahan) karena semakin ada keterwakilan Sultra, justru makin subur korupsi. Sebagai peserta dari Sultra, saya selalu dibilang, Sultra itu banyak korupsi,” jelasnya.

Bicara Korupsi Sektor SDA

Dari beberapa kasus yang melibatkan kepala daerah, kasus pemberian izin yang berhubungan dengan lingkungan hidup selalu menghiasi wajah pemberitaan di Indonesia.

Di Sultra, ada dua kepala daerah yang harus berurusan dengan KPK karena korupsi di sektor sumber daya alam (SDA). Adalah mantan Gubernur Sultra Nur Alam dan mantan Bupati Konut Aswad Sulaiman.

Keduanya, disangkakan telah menerima suap dari penguasa untuk memuluskan izin pertambangan di daerahnya.

Menurut Rahman, kasus macam ini harus menjadi pelajaran bagi kepala daerah. Tugas KPK kemudian, melakukan evaluasi, pencegahan dan monitoring kebijakan kepala daerah.

Sebab, di Sultra saat ini, isu tambang tengah naik daun. Dikhawatirkan, ada potensi penyalahgunaan kewenangan bila tidak diawasi.

“Jadi, tidak hanya fokus di penindakan saja, tapi harus ada pencegahan,” ujarnya.

Meski demikian, ia masih menaruh pertanyaan kepada KPK atas status mantan Bupati Konut Aswad Sulaiman. Saat ini, Aswad berstatus tersangka.

“Hanya saja, sudah tiga tahun belum ada kejelasan. Saya tidak tahu delik apa yang diberikan. Tapi, harus Nampak dan lebih cepat soal penegakan hukum kasus korupsi sektor pertambangan ini,” katanya.

Terhadap kasus korupsi sektor SDA, ia juga mendukung agar tidak korporasi yang ditangkap, melainkan kepala daerah juga ikut diproses hukum jika terbukti menyalahgunakan kewenangannya.

Korupsi karena Hilangnya Rasa Malu

Bagi Rahman, merajalelanya praktik korupsi karena hilangnya rasa malu di pemangku kepentingan.

“Rasa malu ini ini semacam telah hilang, sehingga praktik korupsi tetap lah subur hingga kini,” ujarnya.

Menurut dia, pendidikan moral di sekolah-sekolah harus terus ditanamkan mulai sejak SD hingga kuliah agar ke depan tumbuh sebagai generasi bebas korupsi.

Makin terdistorsinya budaya malu di Indonesia, sulit membuat korupsi akan hilang hingga di akar-akarnya. Sebab, makin dilakukan penindakan terhadap prilaku korupsi, makin banyak kasus yang muncul kemudian.

“Untuk itu, marwah KPK sebenarnya ada pada pencegahan. Selama ini saya lihat sangat kurang. Penindakan itu jalan terakhir,” tuturnya.

Rahman menyebut, pencegahan dan monitoring sebagai jalan yang tepat sebelum penindakan agar ada rasa takut bagi kepala daerah atau pejabat yang berpikir melakukan korupsi.

“Lebih utamakan monitoring dan pencegahan agar kepala daerah takut untuk melakukan korupsi. Mungkin dia mau lakukan kejahatan, tapi karena kita monitoring, tidak jadi (korupsi),” pungkasnya.

Penulis : La Ode Pandi Sartiman

Facebook Comments