Kasus Tambang Wawonii : Polisi Cenderung Membela Investor daripada Rakyat

Warga berdebat dengan salah satu oknum polisi yang diduga mengawal perusahaan tambang di Pulau Wawonii. (Screenshot video Mando Maskuri)
Bacakan

Kendari, Inilahsultra.com – Konflik tambang antara warga Pulau Wawonii dan PT Gema Kreasi Perdana (GKP) masih terus berlanjut.

Kondisi makin parah ketika anak perusahaan PT Harita Group ini masuk menerobos lahan warga dan menumbangkan sejumlah tanaman demi pembangunan jalan hauling tambang.

-Advertisement-

Penerobosan ini berlangsung beberapa kali. Warga pun sempat terus melakukan pengadangan mempertahankan lahannya untuk tidak digusur.

Puncak konflik akhirnya terjadi pada Jumat tengah malam 23 Agustus 2019. Lahan warga milik La Baa, Amin dan Wa Ana digusur paksa oleh 18 escavator milik perusahaan.

Anehnya, pihak perusahaan tidak datang sendiri. Mereka turut dikawal oleh aparat kepolisian bersenjata lengkap.

Kehadiran aparat bersenjata ini mengundang perlawanan dari warga. Mereka sempat menyandera sejumlah alat berat berikut operator tambang.

Suasana semakin memanas saat polisi berusaha membebaskan para pekerja tambang tersebut hingga nyaris membuat warga bentrok dengan polisi pada malam Sabtu itu.

“Polisi mengancam dan menodongkan senjata kepada warga,” ungkap Mando Maskuri dari perwakilan warga, Sabtu 24 Agustus 2019.

Mando mengaku heran dengan sikap polisi yang cenderung membackup tambang tanpa mempertimbangkan keinginan warga selaku pemilik lahan.

Menurut Mando, bila warga menolak lahannya digusur, maka harusnya polisi memproses hukum PT GKP yang secara paksa menumbangkan sejumlah tanaman milik warga.

“Ini polisi apa maksudnya. Jelas warga menolak lahannya untuk digusur. Malah membiarkan bahkan turut mengawal alat berat tambang menggusur lahan warga,” ujarnya.

Tuduhan yang sama datang dari Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kendari Anselmus AR Masiku. LBH adalah salah satu lembaga yang tengah mendampingi warga yang konflik dengan PT GKP.

“Polisi ini bekerja bukan lagi untuk kepentingan rakyat, tapi cenderung membela pengusaha tambang,” jelasnya.

Ia meminta, polisi untuk segera menarik diri dari area lahan milik warga. Sebab, lahan tersebut telah diolah warga kurang lebih 30 tahun dan sudah menjadi sumber penghidupan mereka selama ini.

“Polisi harus ditarik dari Pulau Wawonii,” desaknya.

Terhadap tuduhan warga ini, Bidang Humas Polda Sultra belum memberikan keterangan resmi. Kasubbid Penmas Polda Sultra Kompol Agus Mulyadi pun belum menjawab detil sekalipun sempat berkomunikasi di Whatsapp Group Wartawan Polda Sultra.

Namun demikian, Kapolda Sultra Brigjen Pol Iriyanto SIK pernah menyatakan soal alasan polisi mengawal tambang di Pulau Wawonii.

Jenderal bintang satu ini bilang, aktivitas PT Harita Group di Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan (Konkep) dinilai legal. Untuk itu, kepolisian berkewajiban mengamankan investasi tersebut.

Ia menyebut, PT Harita kategori penanaman modal asing. Segala persyaratan hingga Izin Usaha Pertambangan (IUP)nya diterbitkan melalui prosedur oleh Kementrian Energi dan Sumbeelr Daya Mineral (ESDM).

“Polisi melakukan pengamanan di lokasi penambangan PT Harita merupakan penugasan resmi,” jelas Iriyanto saat coffee morning di Polda Sultra, Rabu 14 Agustus 2019.

Menurut Iriyanto, Pemerintah Daerah (Pemda) sangat membutuhkan investasi. Jadi, tambah dia, investasi legal yang masuk harus berjalan dan polisi berkewajiban mengawal investasi tersebut.

“Keberadaan polisi di sana sesuai aturan, untuk mengamankan investasi. Jangan beropini bahwa Polda Sultra melindungi PT Harita,” kesalnya.

Namun pernyataan Kapolda ini dibantah oleh LBH Kendari. PT GKP anak perusahaan PT Harita tidak bisa serta merta memaksakan kehendaknya untuk menggusur lahan warga.

Sebab, secara hukum, warga telah berhak memiliki tanah tersebut. Selain telah dikelola selama 30 tahun lebih, warga juga aktif membayarkan pajak bumi bangunan (PBB) tanah tersebut.

“Jadi, polisi tidak punya alasan untuk membiarkan perusahaan merusak tanaman warga,” kata Anselmus.

Menurut Anselmus, dalam Undang-Undang Minerba, salah satu kewajiban perusahaan adalah memastikan hak masyarakat atas tanah. Jika kemudian warga menolak untuk melepas tanahnya, maka perusahaan tidak berhak menerobos atas dasar izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) yang dikantongi.

“Warga jelas sudah mengolah di atas 30 tahun dibuktikan dengan tanaman yang ada. Jadi, perusahaan tidak berhak untuk menerobos lahan warga. Penerobosan ini jelas pelanggaran hukum. Dan harusnya polisi memproses PT GKP, bukan malah membiarkan,” tekannya.

Di tempat terpisah, Direktur Operasional PT GKP Bambang Murtiyoso mengaku, lahan warga terpaksa digusur karena mereka menolak untuk diganti rugi.

“Padahal, izin kami sudah lengkap. Kita tidak bisa jalan karena terhalang lahan yang diklaim warga ini,” jelasnya.

Ia mengklaim, lahan yang ditempati warga ini adalah salah satu kawasan yang masuk izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) PT GKP yang diberikan oleh Kementerian Kehutanan.

“Ini adalah hutan negara. Masyarakat juga salah menguasai lahan itu. Makanya kemarin kita laporkan ke polisi karena menghambat investasi,” tuturnya.

Penulis : Onno dan La Ode Pandi Sartiman
Editor : La Ode Pandi Sartiman

Facebook Comments