
Kendari, Inilahsultra.com – Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Tenggara bersama dengan RARE menggelar Talk Show bertajuk “Nelayanku, Tetanggaku, Mitraku: Bagaimana Nelayan Kecil Mendongkrak Perekonomian Daerah” di Claro Hotel Kendari, Kendari, Selasa 28 Agustus 2019.
Talk show dihelat santai dengan tema ‘Ngobras’ atau ‘Ngobrol Bareng dan Diskusi’ ini merupakan suatu upaya dari Pemerintah Provinsi Sultra dalam mengarusutamakan konsep perikanan skala kecil yang keberlanjutan melalui program Pengelolaan Akses Area Perikanan (PAAP).
Secara sederhana, tujuan program ini adalah memberikan ruang kolaborasi kepada suatu kelompok nelayan skala kecil dalam menjaga, mengelola dan memanfaatkan perikanan yang ada di kawasan lautnya.
Talk show ini menghadirkan tiga pemangku kepentingan utama di bidang perikanan di Sulawesi Tenggara yang diwakili oleh nelayan, akademisi, dan pemerintah.
Acara turut mengundang instansi DKP di sejumlah kabupaten dengan cakupan kawasan pesisir besar di Sultra. Diantaranya Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Konawe Utara, Konawe Selatan, Konawe Kepulauan, Muna, dan Wakatobi. Ada pula perwakilan dari berbagai media yang terkonsentrasi di Kendari.
Ngobras yang dipandu Direktur Program RARE, Hari Kushardanto mengungkap fakta kondisi kritis kawasan perairan Sultra. Termasuk bagaimana organisasi konservasi yang berbasis di Amerika Serikat itu bekerja mengedukasi mitra serta masyarakat nelayan bergerak bersama merawat sumber daya alam pesisir.
Diketahui sebanyak 114.879 km2 (11 juta hektare) atau 70% dari total luasan Kawasan Provinsi Sulawesi Tenggara adalah perairan. Kawasan ini umumnya dimanfaatkan masyarakat, terutama kegiatan penangkapan ikan sebagai sumber pangan ataupun sebagai sumber mata pencaharian.
Tahun 2016, produksi perikanan tangkap Sulawesi Tenggara menyumbang sebesar 185.426 ton (DKP Sultra, 2017). Sedangkan, lebih dari 90% dari 90.674 nelayan (DKP Sultra, 2016) di Sulawesi Tenggara adalah nelayan skala kecil yang beroperasi di wilayah pesisir Provinsi Sulawesi Tenggara.
Permasalahannya saat ini diidentifikasi tim RARE adalah nelayan skala kecil yang sebagian besar hidupnya bergantung ke laut secara tidak langsung telah mengeksploitasi sumber daya ikan tanpa perhitungan yang berimbas kepada fenomena overfishing atau penangkapan berlebih.
Fenomena ini diperparah dengan adanya nelayan dari daerah lain yang datang untuk memancing di kawasan yang memang sudah terbatas (open access).
Tanpa adanya skema pengelolaan yang tepat, Pemerintah Provinsi Sultra mensinyalir para nelayan skala kecil akan terus mendapatkan kerugian dari kegiatan penangkapan yang berlebih dan merusak, sehingga kontribusi perikanan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah pun tidak bisa berjalan dengan baik.
“Berkaca dari permasalahan tersebut, maka dibutuhkan suatu inovasi pengelolaan kawasan laut dan sumberdaya perikanan oleh masyarakat dan juga oleh pemerintah setempat agar pengelolaan perikanan skala kecil dapat berjalan dengan baik. Dengan begitu, tidak hanya ekosistem yang terjaga, namun juga kesejahteraan para masyarakat pesisir, terutama para nelayan kecil,” ujar Hari.
RARE kemudian memperkenalkan program Pengelolaan Akses Area Perikanan atau biasa disebut PAAP sebagai salah satu model pengelolaan yang saat ini telah dikembangkan untuk mengintegrasikan sumber daya, lingkungan, sarana prasarana, dan masyarakat.
PAAP, lanjut Hari mengedepankan pentingnya mengelola ekosistem secara menyeluruh agar ekosistem-ekosistem yang menopang keberadaan stok ikan di wilayah pesisir seperti mangrove, lamun, dan terumbu karang terjaga utuh.
Salah satu komponen yang penting dari Program PAAP adalah adanya Kawasan Larang Ambil agar ikan dapat terus berkembang biak sehingga dapat terjadi limpahan (spill-over) ikan ke perairan sekitarnya.
“Di atas itu semua, yang menjadikan Program PAAP ini unik adalah adanya pemberian akses dalam jangka waktu tertentu dari pemerintah kepada sekelompok nelayan untuk menangkap ikan di kawasan perairan mereka dengan sistem pengawasan dan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan,” jelasnya.
Bagi nelayan, inisiatif seperti ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat pesisir dimana mereka secara langsung mendapatkan ruang untuk mengelola sumber daya laut dan ikan di daerah mereka tanpa harus khawatir bahwa sumber daya tersebut akan dirusak oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Mewakili nelayan kecil Sulawesi Tenggara, Jawastullah mengungkap bagaimana program dijalankan RARE telah memberi andil positif bagi kegiatan pengelolaan SDA dan kawasan pesisir di wilayah Konsel. Nelayan ikan asal Teluk Kolono itu berpendapat bahwa sumber daya itu adalah anugerah dari yang maha kuasa, dan sangat tidak layak jika dirusak hanya untuk mendapat keuntungan sementara.
Akademisi UHO, Prof. Ma’ruf Kasim, sepakat jika dimanfaatkan dengan tepat, hasil tangkapan nelayan kecil sebenarnya dapat berperan besar dalam pertumbuhan ekonomi Sulawesi Tenggara.
“Ada dua kunci dalam mengatasi permasalahan pengelolaan perikanan skala kecil, yaitu terjaganya habitat dan ekosistem dimana ikan itu hidup, serta tersedianya tata kelola perikanan yang mampu memberikan ruang kepada masyarakat untuk ikut terlibat mengelola dan memanfaatkan lautnya”, ujarnya.
Dengan kompleksnya kondisi tata kelola kelautan dan perikanan Indonesia saat ini, Kabid Kelautan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Tenggara, Muhammad Alfian mengatakan peran pemerintah dalam mendukung keberlanjutan perikanan sangat krusial. Pemerintah mesti berpihak kepada nelayan kecil agar SDA di kawasan pesisir tidak dieksploitasi secara masif dan busa dikelola secara berkelanjutan.
“Dialokasikannya ruang laut dari 0-2 mil laut bagi nelayan tradisional adalah bentuk komitmen pemerintah provinsi Sultra bagi sektor perikanan tangkap skala kecil yang memiliki peran penting dalam perekonomian daerah” paparnya.
Talkshow ini merupakan estafet gerakan kampanye PAAP tentang perikanan berkelanjutan di Provinsi Sulawesi Tenggara. Pengenalan program PAAP oleh RARE sendiri akan berlangsung hingga tahun 2021.
Penulis : Siti Marlina