Polisi Cepat Respon Laporan Perusahaan Tambang Ketimbang Warga Wawonii

Mahasiswa dan masyarakat menggelar demo di Mapolda Sultra. (Pandi/Inilahsultra.com)
Bacakan

Kendari, Inilahsultra.com – Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara dinilai lebih cepat merespon laporan perusahaan tambang, PT Gema Kreasi Perdana (GKP) dibanding laporan warga Pulau Wawonii.

Penegakan hukum yang cenderung berpihak ke perusahaan tambang ini memantik puluhan mahasiswa yang mengatasnamakan diri Perhimpunan Mahasiswa dan Masyarakat Wawonii (PMMW) untuk menggelar aksi demonstrasi di Mapolda Sultra, Senin 2 Desember 2019.

-Advertisement-

Haerul Bahdar mengatakan, 21 warga Wawonii dilapor ke polisi oleh pihak PT Gema Kreasi Perdana (GKP) pada 24 Agustus 2019.

Namun, sebelum melaporkan 21 warga atas pasal 333 KUHP tentang perampasan hak kemerdekaan seseorang, PT GKP dilapor oleh warga atas penerobosan lahan pada 14 Agustus 2019.

Bukannya lebih dulu memproses laporan warga, polisi malah lebih memproses laporan PT GKP dan terakhir, Jasmin, salah satu aktivis penolak tambang dipanggil paksa polisi dan kini berstatus tersangka.

Selain Jasmin, Idris juga telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan penganiayaan.

“Ini menandakan kepolisian di Sulawesi Tenggara diskriminatif dalam penegakan hukum,” kata Haerul.

Selain itu, laporan warga atas nama Labaa, Amin, dan Waana terkait pengrusakan tanaman dan penyerobotan lahan oleh PT GKP pada 22 Agustus 2019 yang berlangsung tengah malam, juga telah dilaporkan ke Polda Sultra pada 30 Agustus dan 1 September 2019 lalu. Namun, kedua laporan tersebut mengendap, tanpa ada tanda-tanda untuk ditindaklanjuti.

“Hal ini patut diduga bahwa pihak kepolisian justru sedang terlibat dalam skema permainan PT GKP, memaksa penerobosan lahan milik masyarakat untuk memuluskan niat jahatnya dalam menambang nikel di perut Pulau Wawonii,” katanya.

Untuk itu, mereka mendesak polisi untuk menghentikan kriminalisasi dan proses hukum 27 warga Wawonii yang getol menolak masuknya tambang nikel. Selain itu, mereka juga mendesak pencabutan izin usaha pertambangan (IUP) PT Gema Kreasi Perdana (GKP).

Dalam keterangan tertulisnya, Edy Kurniawan dari Lembaga Bantuan (LBH) Makassar menilai pihak kepolisian tampak latah menangani laporan PT GKP. Sebab, Pasal 333 KUHP yang disangkakan kepada warga, terkesan dipaksakan, dengan tujuan untuk menakut-nakuti warga lain yang selama ini aktif berjuang mempertahankan lingkungan hidup dan hak atas tanah.

“Bahwa, tindakan warga yang mengikat para pekerja PT GKP dalam penerobosan lahan itu, secara kontekstual tidak dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana perampasan kemerdekaan. Sebab, tindakan tersebut dilakukan dalam rangka mempertahankan haknya, bukan melawan hak, serta mencegah terjadinya tindak pidana yang hanya menimbulkan kerugian lebih besar bagi warga,” kata Edy dalam siaran persnya.

Sementara itu, Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Muh Jamil menyebut, keberadaan tambang PT GKP di pulau Wawonii, termasuk perusahaan tambang lainnya, diduga illegal. Sebab, Wawonii adalah pulau kecil yang luasnya hanya 708,32 km2.

Berdasarkan ketentuan UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, peruntukannya bukan untuk kegiatan pertambangan.

Tak hanya itu, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Privinsi Sulawesi Tenggara dan Kabupaten Konawe Kepulauan, serta Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Sultra, peruntukkan pulau Wawonii tidak untuk pertambangan.

Demikian pula dengan terminal khusus (tersus) PT GKP yang berlokasi di Desa Sukarela Jaya, Kecamatan Wawonii Tenggara. Menurut Jamil, keberadaan tersus ini juga tidak mendapatkan rekomendasi dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Tenggara, sebab, lokasi yang digunakan dalam membangun tersus ini seharusnya untuk pemanfaatan umum peruntukan kegiatan perikanan tangkap.

Untuk itu, mereka mendesak Kapolri RI untuk memerintahkan Kapolda Sultra agar menghentikan seluruh proses hukum atas 27 warga Wawonii yang dilaporkan pihak PT GKP, serta lepaskan status tersangka warga yang telah ditetapkan kepolisian.

“Mendesak Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Tenggara, Ali Mazi dan Lukman Abunawas, untuk segera mencabut izin usaha pertambangan PT GKP, serta perusahaan tambang lainnya yang ada di pulau Wawonii,” jelasnya.

Mereka juga mendesak Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di Jakarta untuk memidanakan PT GKP yang menambang di pulau kecil Wawonii, serta segera segel terminal khusus (tersus) yang dibangun pihak anak usaha Harita Group tersebut.

Selain itu, mereka ikut mendesak Komnas HAM untuk segera membuka ke publik rekomendasi kepada Polda Sultra terkait pelanggaran HAM dan kriminalisasi warga Wawonii yang memperjuangkan lingkungan hidup dan mempertahankan hak kepemilikan atas tanahnya masing-masing.

“Mendesak Komnas HAM untuk segera berkoordinasi dengan Kapolri RI dan Kapolda Sultra untuk menghentikan seluruh proses hukum kepada warga. Mengingat keberadaan PT GKP dan terminal khusus yang dibangun di pulau Wawonii diduga cacat administrasi dan tidak memiliki izin lingkungan.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) sebagai lembaga negara yang paham tentang pesisir dan pulau-pulau kecil untuk segera membuka informasi kepada publik, ihwal proses penetapan dan dokumen kawasan hutan di lahan-lahan milik warga, yang kemudian telah diberikan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) kepada PT GKP.

“Jasmin dan 26 warga lainnya tidak bisa diproses hukum karena murni memperjuangkan lingkungan hidup, yang dikategorikan Anti-Slapp (strategic Lawsuit Against Public Participation), sebagaimana amanat Pasal 66 UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,” pungkasnya.

Di waktu terpisah, Kabid Humas Polda Sultra AKBP Harry Goldenhardt
Harry membantah bila polisi melakukan kriminalisasi terhadap aktivis penolak tambang di pulau Wawonii.

Menurut dia, polisi bekerja berdasarkan laporan warga dan swtiap laporan yang masuk diproses oleh penyidik.

“Adanya laporan itu, polisi kita terima. Itu karena adanya perbuatan pidana,” ujarnya.

Menurut polisi, kriminalisasi terjadi jika ada sebuah perbuatan yang tidak diatut dalam undang-undang sebagai payung hukumnya.

“Jadi, tolong dipisahkan antara kriminalisasi dan tidak,” katanya.

Menurut penyidik, lanjut Harry, penetapan tersangka Jasmin sudah memenuhi dua alat bukti yang sah terjadinya tindak pidana.

Namun demikian, sikap polisi jelas berbeda dengan adanya laporan warga. Hingga saat ini, polisi belum menetapkan pihak GKP sebagai tersangka padahal jelas anak perusahaan Harita Group ini telah merusak tanaman warga.

“Soal laporan warga, akan dilakukan. Tidak ada perbedaannya penanganan kasus, setiap laporan pasti akan tindak lanjuti,” tuturnya.

Penulis : Pandi

Facebook Comments