
Kendari, Inilahsultra.com – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia memberikan catatan merah terhadap kondisi kebebasan pers di Indonesia sepanjang 2019 yang tertuang dalam rilis resminya, Senin 23 Desember 2019.
AJI Indonesia menyebut, pada 2019 menandai tahun penting dalam kehidupan demokrasi Indonesia karena adanya pemilihan umum legislatif dan pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Pemilihan presiden April lalu, seperti dalam pemilihan sebelumnya, juga memicu polarisasi di tengah masyarakat antara yang mendukung pasangan Joko Widodo-Makruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Pemilu presiden tak hanya menyisakan polarisasi, tapi juga ekses lain. Pasca-pengumuman pemenang pemilu, terjadi demonstrasi menolak hasilnya di depan Kantor Bawaslu di Jl MH Thamrin Jakarta pada 20-21 Mei 2019 lalu. Upaya polisi untuk membubarkan demontrasi itu juga berujung pada kematian massa pengunjuk rasa, dan kekerasan terhadap jurnalis.
Kondisi serupa berulang September 2019 lalu saat terjadi demonstrasi besar di sekitar Senayan, Jakarta. Demonstrasi serupa juga terjadi di sejumlah kota besar lainnya. Massa memprotes sikap DPR dan Pemerintah yang mengesahkan RUU KPK, RUU KUHP dan sejumlah legislasi lainnya yang tidak berpihak pada kepentingan publik. SIkap brutal polisi untuk membuabarkan massa juga memakan korban demonstran, dan juga jurnalis.
Dua demonstrasi besar pada tahun 2019 ini berkontribusi besar bagi kasus kekerasan terhadap jurnalis, yang jumlahnya tahun ini setidaknya ada 53 kasus. Sikap pemerintah dan DPR yang ngotot akan mengesahkan RUU KUHP, meski banyak dikritik karena memuat pasal yang bisa mengancam kebebasan pers, menunjukkan sinyal jelas bahwa dua institusi itu memiliki komitmen rendah soal kebebasan pers dan membuat kita merisaukan apa yang akan terjadi pada tahun-tahun mendatang.
Selain soal kasus kekerasan terhadap jurnalis dan adanya regulasi yang kurang bersahabat terhadap kebebasan pers, tahun ini juga mencatat adanya kebijakan yang tak sejalan dengan semangat kebebasan lainnya: pemblokiran internet. Ini seperti melengkapi apa yang menjadi kekhawatiran komunitas pers tentang makin represifnya negara (melalui legislasi dan tindakan), serta disrupsi digital yang membuat sejumlah media melakukan efisiensi dan pemutusan hubungan kerja.
Menurut AJI Indonesia dalam rilisnya, Senin 23 Desember 2019, indeks kekebasan pers di Indonesia di level dunia internasional sangat tidak mengenakkan.
Tahun ini Indonesia berada di peringkat 124 dalam lembaga pemeringkat internasional Reporters Without Border (RSF), lembaga yang berkantor pusat di Paris, yang memonitor perkembangan kebebasan pers dunia. Dengan peringkat ini Indonesia kebebasan pers Indonesia tak banyak berubah dalam kurun waktu tiga tahun ini. Pada tahun 2017 dan 2018, Indonesia berada di peringkat yang sama.
Dengan indeks tahun ini, posisi Indonesia di komunitas negara ASEAN berada di posisi kedua setelah Malaysia yang berada di peringkat 123 dengan skor 36.74. Indonesia berada di peringkat 124 dengan skor 36.77. Delapan negara ASEAN lainnya berada di belakangnya: FIlipina 134 (43.91), Thailand 136 (44.10), Burma 138 (44.92), Kamboja 143 (45.90), Singapora 151 (51.41), Brunei 152 (51.48), Laos 171 (64.49), Vietnam 176 (74.93).
Dengan posisi saaat ini, Indonesia berada di belakang Timor Leste. Bekas provinsi ke-27 Indonesia itu kini berada di peringkat 84 dengan skor 29.93. Peringkat Indonesia dibandingkan dengan sejumlah negara besar lainnya di Asia, seperti Jepang, misalnya, terpautnya cukup jauh. Negeri Sakura itu berada di peringkat 67, dengan skor 29,36. Tentu saja Indonesia masih lebih baik dari Cina yang berada di peringkat 177, dengan skor 78,92.
Dalam pemeringkatan yang dibuat oleh RSF, ada tiga aspek utama yang diamati. Pertama: lingkungan hukum. Kedua: lingkungan politik. Ketiga: lingkungan ekonomi. Ini adalah aspek yang juga menjadi dasar penilaian Indeks Kebebasan Pers (IKP) yang dibuat oleh Dewan Pers. Faktor yang menonjol dari tiga aspek itu adalah soal regulasi yang berdampak pada kebebasan pers, kasus kekerasan terhadap jurnalis, dan aspek perkembangan “ekonomi” media. Dalam setidaknya dua aspek ini, kita punya sejumlah catatan merah –situasi yang tak menggembirakan.
Penulis : Haerun
Editor : Pandi