Penggantian Calon Terpilih Pemilu 2019 dari Kacamata UU Pemilu dan UU MD3

Edi Sulkipli

Oleh : Edi Sulkipli

Sulawesi Tenggara (Sultra) kehilangan tokoh yang sangat berkontribusi terhadap pembangunan di Konawe Selatan, H. Imran. Mantan Bupati Konawe Selatan dua periode (2005-2010 dan 2010-2015), yang juga Anggota DPR RI dari partai Gerindra dapil Sultra, menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit Bahteramas setelah dirujuk dari Rumah Sakit Hermina Kendari pada 28 Maret 2020 lalu.

Kepergian almarhum, selain menjadi duka bagi keluarga, juga membuka wacana penggantian calon terpilih dan penggantian antar waktu (PAW) anggota DPR/DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota. Dua minggu terakhir media online dan surat kabar ramai membicarakan itu, termasuk penolakan dari sejumlah pihak terhadap calon anggota DPR yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dalam daftar peringkat perolehan suara dari partai politik yang sama pada daerah pemilihan yang sama sabagaimana yang diatur dalam Pasal 426 UU/7/2017 Tentang Pemilihan Umum dan Pasal 242 UU/17/2014 Tentang MD3.

-Advertisement-

Penolakan oknum/kelompok itu umumnya didasari alasan yang menganggap calon anggota DPR perolehan suara berikutnya, Haerul Saleh, tidak memenuhi syarat sebagai kader partai dan terkait integritasnya.

Alasan penolakan ini; pertama Haerul Saleh dianggap tidak mempunyai integritas terkait dugaan penggelembungan suara yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Kolaka 2014 silam, yang berujung pada pemberhentian dengan tidak hormat karena melanggar kode etik penyelenggara pemilu, oleh sidang putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) terhadap seluruh komisioner KPU kolaka saat itu.

Kedua Haerul Saleh diduga telah mengundurkan diri dari Partai Gerindra yang menaunginya saat pencalegkan  lalu. Karena, Haerul Saleh terdaftar sebagai peserta dalam perebutan kursi Anggota BPK RI.

Secara teknis, ada dua nomenklatur dalam situasi ini, pemberhentian antar waktu dan penggantian antar waktu (PAW).

Dalam UU Pemilu, PAW diatur dalam Pasal 426 ayat (1) dan (3) UU Pemilu, yang kemudian diturunkan dalam PKPU Nomor 6 Tahun 2017 Tentang Penggantian Antar Waktu DPR, DPD, DPRD Prop/Kab/Kota, Pasal 9 ayat (1), sebagaimana yang telah diubah dengan PKPU Nomor 6 Tahun 2019.

Pasal 426 ayat (1) menyebut empat situasi PAW, yaitu apabila calon terpilih tersebut; a) meninggal dunia; b) mengundurkan diri; c) tidak lagi memenuhi syarat menjadi anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, atau DPRD kabupaten/kota; atau; d) terbukti melakukan tindak pidana Pemilu berupa politik.

Uang atau pemalsuan dokumen berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Ayat (3) Pasal tersebut menyebut “calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diganti oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota dengan calon dari daftar calon tetap Partai Politik Peserta Pemilu yang sama di daerah pemilihan tersebut berdasarkan perolehan suara calon terbanyak berikutnya”. Kemudian, Pasal 9 ayat (1) PKPU Nomor 6 Tahun 2017 tersebut kembali menegaskan mekanisme PAW digantikan oleh calon pengganti Antar waktu yang memperoleh suara sah terbanyak urutan berikutnya dalam daftar peringkat perolehan suara dari Partai Politik yang sama pada Dapil yang sama.

Rumusan yang sama dapat dibaca dalam Pasal 242 ayat (1) UU MD3 Nomor 17 Tahun 2014 sebagaimana telah diubah dengan UU No 13 Tahun 2019, bahwa “Anggota DPR yang berhenti antar waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 239 ayat (1) dan Pasal 240 ayat (1) digantikan oleh calon anggota DPR yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dalam daftar peringkat perolehan suara dari partai politik yang sama pada daerah pemilihan yang sama”.

Jika melihat penjelasan pasal tersebut maka yang mempunyai legal standing menggantikan Bapak Pembangunan Konawe Selatan tersebut adalah Haerul Saleh dengan urutan perolehan suara partai Gerindra 2019 lalu, Drs. H.Imran, SH. M.si 61.087, Herul Saleh, S.H 42.402, Bahtera 13.642, H. Muhammad Adios 6.953, Astitin 3.904 dan Nurhaja SH. 1.827, sehingga Suara Sah Partai Gerindra 22.057.

KPU harus taat hukum agar tidak mengulangi kesalahan mantan anggota KPU Wahyu Setyawan (WSE) yang ditangkap KPK gegara hendak memanipulasi penggantian calon terpilih meninggal dunia dengan calon lain yang perolehan suaranya minim, Harun Masiku yang saat ini menjadi buronan KPK.

Sepanjang hasil pileg 2019 ini tercatat Ketua DPR RI telah memandu pelantikan lima Anggota PAW diantaranya Reni Astutidari Partai Gerindra yang menggantikan Edhy Prabowo dari dapil Sumatra Selatan I yang memilih untuk mengabdi dan mengemban amanah sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, Muhammad Ali Ridha menggantikan Zainuddin Amali dari Partai Golkar dapil Jatim XI yang memilih mejabat sebagai Menteri Pemuda dan Olah raga, Irmadi Lubis dari Fraksi PDI-Perjuangan menggantikan Yasonna Laoly dari dapil Sumatera I yang lebih memilih menduduki jabatan Menteri Hukum dan Ham, Tuti N Roosdionodari Fraksi PDIP menggantikan Juliari Batubara dari Dapil Jawa Tengah I yang juga menjabat sebagai Menteri Sosial dan Julia Sutrisno dari Fraksi Nasdem menggantikan Johny G Plate dari dapil Nusa Tenggara I yang saat itu juga dilantik menjadi Menteri Komunikasi dan Informatika.

Jika ditelisik lebih jauh lagi PAW tersebut masing-masing adalah PAW yang memperoleh suara sah urutan berikutnya sebagaimana yang telah diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan (UU Pemilu dan UU MD3).

Sepanjang penelusuran dan pengamatan penulis Haerul Saleh masih terdafar dalam DCT perolehan suara sah urutan berikutnya dan masih terdaftar sebagai Anggota Partai Gerindra, penulis tidak menemukan satu pun aturan yang menggugurkan Haerul Saleh sebagai Pengganti PAW H. Imran (alm).

Alasannya; pertama, secara hukum, Haerul Saleh tidak terbukti terlibat dalam penggelembungan suara yang dilakukan oleh KPU saat itu (terlampir dalam Putusan DKPP No. 141//DKPP-PKE-III/2014 dan No.16/DKPP-PKE-III/2014), Kedua, Haerul Saleh tidak mesti mengundurkan diri dari partai tempat ia bernaung untuk ikut serta dalam perebutan kursi Anggota BPK RI sebagaimana yang diatur dalam pasal 13 UU/15/2006 Tentang BPK. ketiga, tidak ada alasan untuk menggugurkan Haerul Saleh sebagai PAW H. Imran, dikarenakan Haerul Saleh masih mempunyai legal standing untuk menduduki kursi PAW DPR RI Partai Gerindra Dapil Sulawesi Tenggara.
Patut diingat bahwa Pemilu 2019 menganut asas “proporsionalitas terbuka”, artinya keterpilihan seseorang berdasar suara terbanyak, bukan ditentukan oleh partai politik seperti prinsip proporsional tertutup.

Dalam prinsip proporsional terbuka yang menggunakan metode “saint lague” (Pasal 415 UU Pemilu No 7/2017) “Dalam hal penghitungan perolehan kursi DPR, suara sah setiap partai politik yang memenuhi ambang batas perolehan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 414 ayat (1) dibagi dengan bilangan pembagi 1 dan diikuti secara berurutan oleh bilangan ganjil 3; 5; 7; dan seterusnya.” Semua suara adalah suara partai, tidak ada suara caleg. Cara menghitungnya, setelah suara partai terakumulasi (termasuk dari suara caleg meninggal dunia) dan memenuhi ambang batas (parliamentary threshold), baru kemudian dilihat perolehan suara masing-masing caleg secara berurut.

Begitu cara menghitungnya, aturan main PAW berdasar undang-undang, bukan kepentingan orang atau kelompok.

Penulis adalah Advokat dan Peneliti Epicentrum Politica

Facebook Comments