Muara Kerusakan Itu Bernama Mahar Politik

Al Abazal Naim

Oleh : Al Abzal Naim 

Tahapan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sedang berjalan. Berbasis Peraturan KPU No. 5 Tahun 2020 tentag Perubahan Ketiga atas Peraturan KPU No. 5 Tahun 2019 tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan, tahapan penyelenggaraan khususnya Pendaftaran Pasangan Calon yang diajukan Partai Politik, kian dekat. Tentunya, gerilya politik dilakukan oleh Bakal Calon Kepala Daerah dalam rangka meraup dukungan Partai. Gonjang-ganjing permasalahan ini meriuhkan kabar perihal Mahar Politik. Apa itu Mahar Politik? Penulis mencoba membahas dalam tulisan sederhana ini.

Peristilahan
Merujuk pada istilah mahar, sesungguhnya pembentukan istilah ini patut disayangkan. Sebab Mahar yang secara etimologis bersumber dari diskursus fiqih (Yurisprudensi Islam) dapat dikatakan mengalami peyorasi. Mahar yang merupakan pertanda ikatan sakral dalam pernikahan antara calon suami dan calon istri sebagai simbolitas yang transedental, menjadi kering (nirvalue) dikarenakan peristilahan Mahar Politik yang identik dengan politik praktis dengan gradasi nilai di tataran praktis yang diartikan negatif.

-Advertisement-

Jika ditilik dari polanya, Mahar Politik tidaklah dapat dispesifikasi oleh satu jenis saja, melainkan ada tiga. Yang pertama diartikan sebagai suatu imbalan umumnya dalam bentuk uang yang diberikan suatu orang, kelompok yang berkepentingan, kepada partai politik tertentu agar mencalonkan seseorang dalam pilkada. Dalam pengertian ini, titik fokusnya adalah tujuan dari pemberian. Akrab pasaran menyebutnya ‘Jual Beli Kendaraan’. Dalam pola yang kedua, diartikan sebagai sejumlah materi yang dipersiapkan oleh calon atau kelompok tertentu dalam membantu biaya keikutsertaan calon tertentu dalam kontestasi pilkada.

Dilazimkan oleh istilah akomodasi politik. Sedang pada pengertian ketiga, diartikan sebagai imbalan keseluruhan dari jual beli kendaraan hingga pembiayaan mesin politik. Di pengertian inilah Mahar Politik sering digeneralisasi.

Faktual
Sebagaimana proses perpolitikan memerlukan biaya, tentu Mahar Politik dalam ketiga defenisi di atas tidak dapat dihindari. Terlebih momentum elektoral kita yang menyerempet dan berefek domino dari pilkada. Hal ini tersirat gejalanya berdasar data dari KPK di tahun 2016 yang menemukan median Rp 20-30 Miliar sebagai ongkos politik yang dikeluarkan calon walikota/bupati. Lain halnya dengan calon gubernur yang mencapai Rp 100 Miliar.

Berdasar data dari 286 peserta pilkada di 259 daerah tersebut, umumnya pengeluaran digunakan untuk membiayai honor saksi dan logistik kampanye.

Artinya, dari data KPK itu kita bisa pula mengemukakan sebuah hipotesa baru berdasarkan realita yang ada. Pastinya nilai di atas akan lebih membengkak dengan adanya money politic yang mutlak tak akan diakui oleh informan, dijelaskan sebagai bagian yang memerlukan high cost. Terlebih harus diakui bahwa trending keterpilihan hari ini semakin bergeser mendekati variabel uang. Dalam realita pendidikan politik kita yang miris ini, hal itu semakin subur. Seperti ekstremnya paparan Slavoj Zizek. Tak ada lagi hal yang ideologis, semua terkikis oleh fetitisme lebih pada uang. Parah.

Kenyataannya, sepanjang KPK berdiri sudah ada 78 kepala daerah yang diproses hukum, dari 92 kasus korupsi. ICW mencatat selama 2010 hingga 2017, ada 215 kepala daerah menjadi tersangka korupsi dengan berbagai perkara seperti anggaran proyek, suap, pengesahan anggaran, korupsi pengadaan barang dan jasa. Semua dampak dari variable utama, yakni Mahar Politik yang tinggi. Pelik.

Mengacu pada ektensifikasi pengertian Mahar Politik, ada beberapa penyebab yang dipilah menjadi dua, yakni soal subyek dan sistem yang ada.

Parpol
Dalam item subyek, ada komponen parpol sebagai pelaku demokrasi yang selayaknya lebih getol dalam membangun demokrasi. Parpol selayaknya mampu member pencerahan ideologis, turut menghadirkan kader politik yang memiliki akseptabilitas bin kapabilitas tinggi. Kemudian dari itu menciptakan sistem internal yang fair dengan mengedepankan aspek di atas, bukan kapital.

Sudah menjadi rahasia umum, jika kapital adalah orientasi. Banyak kader berkualitas kalah modal hingga urung diorbit. Tak heran munculah fenomena ‘Partai Panen Lima Tahunan’. Celah ini sangat menganga manakala produk hukum baik Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik dan Undang-Undang Pemilihan sama sekali tidak mewajibkan bahwa calon yang diusung parpol harus sebagai kader.

Dalam item sistem, legal gap menyiratkan bahwa aturan pendanaan parpol belum mengarah pada kemandirian politik, transparansi, pengawasan publik, hingga bersanksi tegas. Dalam soal keuangan, parpol masih lenggang ogah-ogahan jika diusut pengelolaannya. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 belum mengakomodir kewajiban pelaporan keuangan yang transparansi yang berujung pada ketiadaan sanksi.

Pengawasan ini sungguh tak bisa tersentuh. Tidak jaminan regulasi yang mengarah pada prinsip meryt dan transparansi pada Parpol. Disisi lain fenomena yang terjadi sudah mengikat bagaikan “circle of devils” yang harus diputus mata rantainya. Bagaimana tidak, jika saat suksesi pemilihan ketua parpol dalam semua tingkatan, masing-masing calon ketua mengeluarkan uang banyak untuk menyuap para pemilik suara baik dalam tataran daerah, cabang maupun ranting. tentu saja diperlukan pengembalian uang suksesi dalam memperebutkan ketua di parpol itu. Salah satu jalan by pass nya tentu saja dengan Mahar Politik.

Memang, proses perpolitikan-elektoral memerlukan biaya-biaya. Namun tak dapat dicampur adukkan bahwa biaya tersebut murni untuk pembiayaan saksi, logistik dan biaya kampanye dsb. Celah sumber dana ber-money politic mesti ditutup krannya, tak boleh disembunyikan dibalik pendikotomian pengertian ongkos dan biaya politik. Artinya, secara teleologis tidak ada yang bisa menjamin Mahar Politik digunakan untuk keperluan murni saja. Tak ada yang bisa menjamin tak ada bargaining dibalik itu. Makanya, pendanaannya harus diawasi agar hanya cukup untuk pembiayaan murni saja seperti membayar saksi, logistik dan biaya kampanye, dsb.

Bakal Calon Kepala Daerah
Bakal Calon Kepala Daerah yang menyuap dengan cara mahar di masing-masing parpol kecenderungannya beralasankan dua faktor. Pertama, faktor aksesibilitas yakni mereka yang tidak memiliki jalur masuk ke partai diperhadapkan pada keharusan Bacakada memberi dampak keuntungan bagi partai. Kedua, faktor afirmasi negatif, yakni menutupi track record buruk, minim pengalaman, dan kelangkaan jejaring sosial akan mem-barterkan sesuatu dari Bacakada. Kedua kondisi ini berpretensi pada syarat mencalon. Terlebih popularitasnya tak menjangkau, kalah survey sehingga tak membuat parpol tertarik. Maka cara untuk mendapatkan “tiket” parpol adalah dengan usaha menyerahkan Mahar Politik.

Celakanya, manakala biaya tinggi dikeluarkan berdasarkan kedua faktor di atas, tentu saja menjadi dorongan Kepala Daerah (jika terpilih) untuk mengeruk sebesar-besarnya keuangan negara dan daerah dalam misi mengembalikan modal. Sisi koruptif ini teridentifikasi, sebagai titik awal dimulainya kejahatan luar biasa – Korupsi, yakni, faktor needy, opportunity, dan greedy.

Bagaimana jika tak terpilih? tentu berbuah malapetaka buat Calon Kepala Daerah beserta investornya. Syukur-syukur jika kuat iman dan masih punya modal. Bagaimana jika all out?

Tantangan

Para pelaku mahar belum memiliki legal standing untuk diawasi sebagai pelaku kejahatan pilkada sebab proses transaksi gelap itu dilakukan pada saat sebelum ditetapkan sebagai pasangan calon dan juga tidak dilakukannya pada saat kampanye. Tak dapat jika regulasi Undang-Undang Pemilihan pada Pasal 47 memiliki tafsiran yang luwes. Memang, dengan jelas melarang partai atau gabungan partai politik menerima imbalan dalam bentuk apapun selama proses pencalonan kepala daerah. Juga melarang setiap orang memberikan imbalan kepada partai dalam proses pencalonan pilkada. Tapi tafsiran ini belum mampu menjerat pelaku Mahar Politik yang dapat beralibi pada definisi lain dari Mahar Politik sebagaimana dijelaskan di atas. Sulit untuk membuktikan perilaku ini. Hingga tak heran belum ada contoh kasus yang terjerat. Padahal sudah menjadi rahasia umum.
Sejauh ini sistem hukum kita belum jelas menjerat tindak-tanduk Mahar Politik. Mesti ada formulasi hukum yang benar-benar bisa mengidentifikasi ini kemudian menghukumnya dengan jera. Berkaca pada dampak yang ditimbulkan, Mahar Politik mesti dilawan dengan cermat, sebab dampaknya adalah korupsi yang lebih luas menggurita. Pertanyaan yang mesti dijawab oleh kita, apakah rahasia umum yang berbahaya laten ini tak dapat dibasmi? Wallahu a’lam.

Penulis adalah Ketua Bawaslu Kabupaten Muna

Facebook Comments