KPU Wakatobi Optimis MK Terima Eksepsinya dan Tolak Gugatan Arhawi-Hardin Laomo

Baron Harahap. (Foto Dokumen Facebook Baron Harahap)
Bacakan

Kendari, Inilahsultra.com – Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Wakatobi optimis majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menerima eksepsi atau pembelaannya dan menolak permohonan atau gugatan pasangan Arhawi-Hardin Laomo.

Berdasarkan jadwal, MK akan menggelar sidang putusan dismissal untuk perselisihan hasil pemilihan (PHP) kepala daerah Wakatobi pada 17 Februari 2021.

Kuasa hukum KPU Wakatobi Baron Harahap menyatakan, keterangan pemohon dalam sidang MK tidak terlalu kuat dan dalilnya tidak berpengaruh terhadap signifikansi hasil.

-Advertisement-

“Prediksi kami tidak dapat diterima. Karena logika MK dalam putusannya karena pemohon tidak memiliki kedudukan hukum dengan rasio presentase di atas 2 persen,” kata Baron Harahap, Kamis 11 Februari 2021.

Berdasarkan pasal 158 huruf a Undang-undang Nomor 10 Tahun 2015 juncto pasal 4 ayat 1 huruf b, PMK Nomor 6 Tahun 2020 membatasi selisih suara untuk dapat mengajukan permohonan ke MK.

Untuk kabupaten dengan jumlah penduduk sampai dengan 250 jiwa maka pengajuan perselisihan hasil pemilihan jika terdapat perbedaan selisih suara paling banyak 2 persen dari total hasil perolehan suara sah hasil penghitungan tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU kabupaten atau kota.

Kedua, lanjut Baron, dalam permohonan sengketa, pemohon memasukan masalah angka-angka. Misalnya, daftar pemilih pindahan sebanyak 537 orang tidak memenuhi syarat (TMS) termasuk sebanyak 1.883 daftar pemilih tambahan yang dianggap TMS.

“Sayangnya, pada saat persidangan dan kesempatan membuktikan itu, bukti-buktinya tidak mendukung. Sehingga selisih yang jauh itu tidak cukup kuat dengan bukti dan argumentasi digunakan sebagai mahkamah untuk menyimpangi pasal 158 huruf a sebagai syarat mengajukan sengketa,” bebernya.

Baron menyebut, MK tidak melulu melihat selisih. Namun tetap memberikan harapan kepada pemohon untuk membuktikan argumentasinya.

“Bahkan mereka yang melebihi ambang batas potensial untuk diadili sepanjang bukti dan argumentasi secara subtansi mempunyai signifikansi terhadap hasil. Sayangnya, setelah permohonan kita periksa plus bukti yang diajukan tidak relevan dengan hasil,” tuturnya.

Sebelumnya, kuasa hukum Arhawi-Hardin La Omo menggugat di Mahkamah Konstitusi (MK) agar dilakukan pemungutan suara ulang (PSU) di 240 TPS.

Kuasa hukum Arhawi-Hardin La Omo, Makhfud, dalam sidang gugatan hasil Pilkada 2020 di MK, Rabu 27 Januari 2021, menyampaikan: pertama, pelanggaran atau kesalahan yang dilakukan termohon beserta jajaran-nya tidak dapat mempertanggungjawabkan jumlah pemilih dalam DPT yang menggunakan hak pilihnya di TPS.

“Karena terjadi ketidaksesuaian antara jumlah pengguna hak pilih di TPS dan jumlah suara sah dan suara tidak sah dengan jumlah pemilih dalam DPT yang membubuhkan tanda tangannya di daftar hadir pemilih di TPS yang dibuktikan tidak adanya tanda tangan daftar hadir DPT, tidak sama dengan pengguna hak pilih di TPS-TPS,” kata Makhfud dikutip dari akun Youtube Mahkamah Konstitusi dan Bisnis.com.

Menurut pihak pemohon, perolehan suara pasangan calon yang ditetapkan termohon adalah tidak benar, karena terjadi pelanggaran atau kesalahan yang terstruktur, sistematis dan masif yang dilakukan termohon dan pembiaran oleh Bawaslu semata-mata demi memperbesar perolehan suara pasangan calon pihak terkait.

Kedua, ia berdalil bahwa, termohon tidak dapat mempertanggungjawabkan penggunaan surat suara yang pindah memilih, karena terbukti pemilih pindahan tersebut sejati-nya tidak memenuhi syarat sebagai pemilih pindahan sebanyak 537 pemilih yang tersebar di 240 TPS, di 95 desa/kelurahan, di delapan kecamatan.

Ketiga, pihaknya mengklaim, termohon tidak dapat mempertanggungjawabkan penggunaan surat suara pemilih tambahan (DPTb), karena terbukti pemilih tambahan tersebut sejati-nya bukan pemilih di TPS yang bersangkutan karena yang bersangkutan tidak memenuhi syarat sebagai pemilih sebanyak 1.883 di 240 TPS yang tersebar di 95 desa/kelurahan di delapan kecamatan.

“Termohon terbukti melakukan kecurangan di mana surat pemberitahuan memilih atau formulir C. pemberitahuan-KWK yang tidak terdistribusi kepada pemilih tidak dikembalikan kepada termohon dan tidak dilakukan rekapitulasi pengembalian,” papar Makhfud.

Hal tersebut, lanjutnya, berdasarkan bukti bahwa pemohon pada saat rekapitulasi penghitungan suara di tingkat KPU Kabupaten sudah meminta secara resmi melalui surat kepada termohon, tetapi pada waktu itu menjawab bahwa dokumen yang diminta ada dalam kotak.

“Jawaban ini tentu tidak sesuai dengan pasal 12 dan pasal 13 PKPU Nomor 18 tahun 2020,” tuturnya.

Empat, terjadi pelanggaran berupa penggunaan hak pilih lebih dari satu kali dengan modus terdaftar dalam DPT TPS asal, kemudian menggunakan hak pilihnya di TPS lain dengan menggunakan KTP di TPS sebagai daftar pemilih tambahan atau DPTb berikutnya dengan tidak membawa surat keterangan pemilih pindah memilih dan dimasukkan dalam daftar pemilih tambahan.

“Lima, termohon atau jajaran-nya juga melakukan pelanggaran yang dilakukan dengan cara dan terjadi di beberapa TPS,” ucap Makhfud.

Enam, pihaknya juga mengklaim pelanggaran serius yang terjadi secara masif dan merusak nilai-nilai demokrasi pada pemilihan yang dilakukan dalam bentuk praktik politik uang dan barang yang dilakukan oleh calon bupati pasangan calon nomor urut 2 Haliana-Ilmiati Daud.

Selanjutnya, menurut pemohon, bahwa terjadi pelanggaran yang serius yang dilakukan oleh tim atau pendukung paslon nomor urut 2 berupa intimidasi dan ancaman kekerasan kepada pendukung pasangan calon nomor urut 1 di beberapa TPS.

“Apabila pemilih yang mencoblos melebihi jumlah DPT, DPTb, DPPh, maka dipastikan ada pemilih ‘siluman’ yang menemukan hak pilihnya dan inilah potensi pelanggaran yang harus dipertanggungjawabkan oleh termohon,” papar Makhfud.

Penulis : Onno

Facebook Comments