Kendari, Inilahsultra.com – Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan ketetapan atas sengketa perselisihan hasil pemilihan (PHP) pada pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Konawe Kepulauan.
Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa permohonan pemohon tidak merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk mengadili perkara yang dimohonkan.
“Menyatakan Mahkamah Konstitusi tidak berwenang mengadili permohonan pemohon,” kata Hakim Konstitusi Anwar Usman saat membacakan putusan dan ketetapan PHP Pilkada Konkep, Senin 15 Februari 2021.
Ketetapan ini diambil berdasarkan rapat permusyawaratan hakim (RPH) pada 10 Februari 2021.
Dengan adanya ketetapan ini, maka perkara Nomor 07/PHP-BUP-XIX/2021, PHP Pilkada Konawe Kepulauan dinyatakan niet ontvankelijke verklaard atau yang biasa disebut sebagai putusan NO, merupakan putusan yang menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima karena mengandung cacat formil.
Putusan MK ini juga turut dibenarkan kuasa hukum pihak terkait pasangan Amrullah-Andi Muh Lutfi, Muh Rijal Hadju.
“MK tidak berwenang mengadili perkara ini dan eksepsi kami diterima,” kata Rijal Hadju.
Sebelumnya, Rijal Hadju menyebut, pihaknya sudah memprediksi sejak awal ketetapan MK mengenai perkara tersebut.
Menurutnya, permohonan pemohon Oheo-Muttaqin error in objecto atau gugatan yang diajukan tidak sesuai objek yang dipersengketakan.
“Karena error in objecto maka mahkamah tidak berwenang mengadili perkara tersebut,” katanya beberapa waktu lalu.
Ia mengatakan error karena harusnya yang digugat adalah keputusan KPU Konkep mengenai hasil akhir perhitungan suara, namun yang digugat justru berita acara sertifikat rekapitulasi penghitungan suara setiap kecamatan di tingkat Kabupaten Kota dalam pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Tahun 2020 atau yang dikenal dengan Form-KWK Model D.
Jika merujuk pasal 157 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2015 juncto pasal 2 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 6 Tahun 2020, objek sengketa yang disidangkan MK adalah ketetapan suara hasil akhir pemilihan.
“Padahal bukan itu yang dikehendaki obyek perkara di MK yang menjadi kewenangan mahkamah,” jelasnya.
Selain keliru pada obyek, hal subtansi yang dipersoalkan secara materil tidak berkaitan dengan hasil. Misalnya, gugatan berkaitan protokol kesehatan dan proses rekapitulasi.
“Jadi tidak ada satu pun dalilnya berkaitan dengan hasil apakah ada penambahan perolehan suara, atau hasil perhitungan berbeda antara KPU dengan mereka atau ada pergeseran suara dari paslon lain,” jelasnya.
Kemudian legal standing pemohon juga dianggap tidak ada. Bahwa pasal 158 huruf a Undang-undang Nomor 10 Tahun 2015 juncto pasal 4 ayat 1 huruf b, PMK Nomor 6 Tahun 2020 membatasi selisih suara untuk dapat mengajukan permohonan ke MK.
Untuk Kabupaten dengan jumlah penduduk sampai dengan 250 jiwa maka pengajuan perselisihan hasil pemilihan jika terdapat perbedaan selisih suara paling banyak 2 persen dari total hasil perolehan suara sah hasil penghitungan tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU kabupaten atau kota.
“Kita optimis, dengan rasio tersebut permohonan pemohon tidak dapat diterima dengan alasan error in objecto,” tuturnya.
Penulis : Haerun