Oleh: Baron Harahap,S.H., M.H.
Publik Sultra kembali geger saat Kantor Dinas ESDM setempat digeledah Penyidik Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara. Buntutnya, 4 (empat) orang telah ditetapkan tersangka dugaan tindak pidana korupsi. Diantaranya: LSO (Direktur PT Tosida), UMR (Manager PT Tosida), BHR (eks PLT Kadis ESDM Sultra) dan YSM (eks kabid minerba Dinas EDSM Sultra).
Melalui media online, pihak Kejati Sultra menyatakan bahwa tindakan tersangka
mengakibatkan kerugian negara senilai kurang lebih Rp243 miliar.
Akumulasi kerugian tersebut terjadi dalam kurun waktu, 2009 s.d 2021. Pihak Kejati tidak mengurai secara gamblang perbuatan “melawan hukum korupsi” tersangka, namun secara samar beberapa media mengungkapkan modus perbuatan korupsi dalam kasus tersebut, yaitu: “PT Tosida tidak membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) selama melakukan aktivitas penambangan, dan pejabat di Dinas ESDM Sultra memberikan persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Belanja (RKAB) PT Rosida meski tanpa bayar PNBP.”
Langkah berani Kejati Sultra patut diapresiasi, sebab sengkarut pertambangan di Sultra telah sampai pada level kronik dan pelaku pertambangan bak menara gading yang tak tersentuh penegakan hukum.
Namun yang perlu ditelaah lebih cermat, untuk sisi penegakan hukumnya kasus tersebut: Apakah tindakan pengingkaran pembayaran PNBP secara spesialis dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana korupsi ataukah tergolong sebagai tindak pidana pertambangan ataukah tindak pidana PNBP?
Jika analisisnya hanya dengan pendekatan “kerugian negara” maka nyaris seluruh kegiatan yang mengakibatkan kerugian negara dapat dikualifisir menjadi “tindak pidana korupsi.” Hal ini akan berlaku sama, termasuk seseorang yang “ngemplang pajak” dapat pula dipidana korupsi.
Dalam hemat penulis, perkara yang menimpa PT Tosiba dan Eks Pejabat Dinas ESDM Sultra, idealnya mengedepankan prinsip lex spesialis sistematis, sehingga dapat tertangani dengan UU Penerimaan Negara Bukan Pajak (UU PNBP). Bukan dengan UU Minerba. Bukan pula dengan UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK), kecuali terdapat ihwal “gratifikasi” dalam penerbitan RKAB-nya.
Seandainya yang terjadi limitatif pada mangkir bayar PNBP, maka tindakan pertama kali yang harus ditempuh yaitu dengan menggunakan upaya administratif. Bentuknya: tagih – tegur – cabut izin pertambangan. Apabila seluruhnya tidak terwujud, barulah ditegakkan upaya hukum pidana, berupa pidana denda dan penjara berdasarkan UU PNBP.
Pun demikian jika dalam proses laporan keuangan individu atau badan hukum terdapat dugaan “pemalsuan dokumen” yang ada hubungannya dengan kewajiban atas pembayaran penerimaan negara
bukan pajak, maka perbuatan tersebut juga diatur secara spesifik dalam Pasal 68 UU PNBP.
PNBP
Pasal 1 UU PNBP memberikan penjelasan atas PNBP, “pungutan yang dibayar oleh pribadi atau badan atas perolehan manfaat dari menggunakan sumberdaya dan hak dari negara yang diatur oleh perundang-undangan sehingga menjadi penerimaan negara, diluar dari penerimaan perpajakan dan hibah, yang dikelola dalam mekanisme anggaran pendapatan negara dan belanja negara.”
Berdasar regulasi PNBP, pengelolaan PNPB diselenggarakan oleh Kementerian/Lembaga dan kementerian yang menjalankan fungsi bendahara umum negara. Sedangkan pengawasannya
diselenggarakan oleh Aparatur Pengawas Internal Pemerintahan (APIP).
Dalam menyelenggarakan pengelolaan PNBP, menteri dapat meminta instansi pemeriksa untuk melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Bayar mengenai ketidakpatuhan wajib bayar atas ketentuan
perundang-undanganan di bidang PNBP.
Jika hasil pemeriksaannya ditemukan indikasi kerugian negara dan/atau indikasi unsur tindak pidana maka diproses sesuai dengan ketentuan pidana yang berlaku.
Pada proses pemeriksaan wajib bayar oleh instansi pemeriksa, dimungkinkan adanya
permintaan koreksi Surat Tagihan PNBP atau permintaan keringanan atas tagihan wajib bayar. Koreksi maupun keringanan atas tagihan merupakan ranah wewenang kementerian/Lembaga yang kompoten
(PP No. 1/2021 Tentang Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak).
Mekanisme koreksi dan keringanan yang dapat diberikan oleh Pejabat berwenang sebagaimana PP dimaksud, mengindikasikan bahwa negara tetap memberikan kesempatan bagi wajib bayar untuk menunaikan kewajibannya, sebelum ditegakkan proses pidananya.
Lain halnya jika wajib bayar PNBP dengan sengaja tidak menunaikan kewajibannya untuk membayar, atau menyampaikan laporan PNBP terutang yang tidak benar, maka wajib bayar berada dalam ancaman pidana denda sebanyak 4 (empat) kali jumlah PNBP Terutang dan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun (Pasal 67 UU PNBP).
Pada UU Minerba, juga ditemukan mengenai PNBP. Hal ini termuat dalam ketentuan Pasal 128 ayat (2) dan ayat (4) UU Minerba. Namun, ketidakpatuhan atas pembayaran PNBP terhutang, tidak memiliki konsekuensi pidana. Hanya berwujud sanksi administratif. Yaitu Sanksi admistratif atas pengingkaran kewajiban membayar PNBP, dengan melalui pencabutan izin usaha pertambangan (Pasal 119 UU Minerba).
Lebih Spesialis
Dalam penegakan hukum pidana, sangat memungkinkan terdapat fakta perbuatan hukum yang diatur lebih dari satu undang-undang, dengan undang-undang yang masing-masing bersifat khusus.
Terhadap kasus yang melibatkan PT Rosida, analoginya ada perbuatan melawan hukum
“mangkir bayar PNBP” sehingga negara menjadi rugi, dan ada pula perbuatan melawan hukum “memalsukan dokumen kaitan dengan laporan keuangan”. Kedua perbuatan tersebut secara specialist
diatur dalam undang-undang yang bersifat lex spesialist. Menolak membayar PNBP adalah perbuatan melawan hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 128 UU Minerba dan Pasal 67 UU PNBP,
begitu pula diatur dalam Pasal 2 UU PTPK terkait dengan korupsi yang merugikan keuangan negara.
Kemudian, memalsukan laporan keuangan sekaitan dengan usaha pertambangan, diatur juga secara khusus dalam ketentuan Pasal 159 UU Minerba, begitupula mengenai memalsukan laporan keuangan sekaitan dengan PNBP diatur dalam Pasal 68 UU PNBP. Hal yang sama mengenai membuat dokumen berisi laporan palsu yang mengakibatkan kerugian negara, diatur juga dalam Pasal 9 UU PTPK.
Bagaimana jika keadaan demikian saat suatu perbuatan melawan hukum bersinggungan dengan ragam undang-undang yang masing-masing bersifat lex specialist? Untuk menentukan penegakan hukumnya diterapkankanlah prinsip hukum lex consumen derogate legi consumte. Bergantung pada ketentuan mana yang paling mengemuka atas perbuatan melanggar ketentuan tersebut.
Lex consumen derogate legi consumte berarti ketentuan yang satu memakan ketentuan lainnya.
Yaitu, ada ketentuan yang sama sifatnya, sama-sama sebagai lex specialist, maka yang dijadikan pedoman tertuju pada ketentuan pidana paling mendominasi terhadap perbuatan pelanggar ketentuan
pidana tersebut.
Praktek penerapan prinsip lex consumen derogate legi consumte, misalnya jika terjadi persinggungan antara ketentuan umum pokok perpajakan dengan undang-undang pemberatasan tindak pidana korupsi.
Untuk kasus yang melibatkan PT Rosida, tampaknya memiliki persinggungan antar 3 (tiga) undang-undang: UU Pertambangan, UU PNBP, dan UU PTPK. Dengan mengunakan prinsip lex consumen derogate legi consumte, maka unsur tindak pidana yang dimaksud dalam UU PNBP lebih mendominasi dan mengemuka dalam kasus tersebut.
Di atas segalanya, tindakan Kejati Sultra dalam mengusut kasus ini pastinya membuka cakrawala kita, tentang bobroknya pengelolaan PNBP pertambangan di Sultra.
RKAB yang seharusnya menjadi rangkaian palang pintu pemenuhan kewajiban pembayaran PNBP, justru jebol akibat
ketidakprofesionalan penyelenggara negara disektor pertambangan.
Penulis adalah Praktisi Hukum dan Ketua Ika Alumni FH UHO