Sesaat setelah menunaikan Panggilan Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara (Kejati Sultra), YSM langsung dijebloskan ke sel Rutan Kelas II A Kendari. Walaupun sempat absen dalam panggilan pertama dan kedua, YSM pun bersama dengan tim penasehat hukum-nya memenuhi panggilan Kejati Sultra untuk diperiksa sebagai tersangka dalam dugaan tindak pidana korupsi yang merugikan Keuangan Negara sejumlah kurang lebih Rp.226 miliar.
Dugaan Tindak Pidana Korupsi aquo, oleh Kejati Sultra menerangkan modus operandi nya yakni Pertama, PT Toshida Indonesia tidak membayarkan kewajiban kepada Negara berupa Penerimaan Negara Bukan Pajak Penggunaan Kawasan Hutan (PNBP PKH). Kedua, meskipun tidak membayarkan PNBP PKH, Pejabat Dinas ESDM Sultra tetap memberikan persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Belanja PT. Toshida.
Mengenai dugaan tindak pidana korupsi yang menjerat YSM (Eks Kabid Minerba Dinas ESDM Sultra), sebelumnya Kejati Sultra telah menetapkan tersangka lainnya yakni LSO (Direktur PT Tosida), UMR (Manager PT Tosida) dan BHR (Mantan PLT Kadis ESDM Sultra).
Pembelaan terhadap YSM – pun disampaikan oleh kuasa hukum. Tercatat dalam pemberitaan media sosial Kuasa Hukum YSM menerangkan dua hal yang menjadi catatan, yakni pertama instrument hukum administrasi yang dianggap paling tepat dikenakan terhadap YSM, sebab tanggung jawab jabatan implikasinya ke Tata Usaha Negara. Kedua terkait tunggakan Pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) oleh PT Toshida, Kejati Sultra sejatinya punya kewenangan untuk menagih tunggakan tersebut sehingga tindak kerugian negara bisa diminimalisir.
***
Terdapat wilayah abu-abu atau kabur batasannya (grey area), antara Hukum Administrasi Negara dan Hukum Pidana. Hal ini tentunya masih menyisahkan perdebatan yang panjang bagi para pegiat hukum.
Penentuan yuridiksi antara Hukum Administrasi Negara dan Hukum Pidana tidak bisa dilepaskan dari ketentuan tindak pidana korupsi khususnya Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU PTPK. Hal mana jika tindak pidana korupsi tersebut dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Penyelenggara Negara.
Menelik hal tersebut, bisa jadi penilaian terhadap tindakan YSM sebagai Pejabat ESDM (Kabid Minerba) yang diduga ikut andil dalam persetujuan RKAB PT. Toshida merupakan ranah hukum administrasi negara dapat dibenarkan.
Catatannya bahwa terdapat sanksi administratif jika Pejabat yang berwenang memberikan persetujuan RKAB tidak disandarkan pada dokumen-dokumen kelengkapan RKAB. Atau sanski administratif tersebut secara eksplisit dituliskan, dalam hal pejabat yang berwenang menyetujui RKAB tanpa meneliti dokumen kelengkapan RKAB dikenakan sanksi administratif berupa diberhentikan sebagai perjabat yang menyetujui RKAB.
Atau dapat pula dibenarkan penerapan hukum administrasi jika maksud dari pembuat undang-undang memuat sanksi administratif dalam penegakan hukumnya. Sehingga dapatlah dikatakan bahwa sanksi administratif adalah salah satu bentuk pemberlakuan hukum administrasi.
Itulah maskud dari penerapan hukum administrasi. Tidak selamanya hukum administrasi berkonotasi pada sengketa tata usaha negara. Sebab UU Peratun telah menentukan bahwa sengketa tata usaha negara adalah sengketa yang timbul dibidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat negara sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Namun penerapan hukum administrasi dalam kasus YSM sangat tidak dimungkinkan. Dikarenakan Permen ESDM 7/2020, hanya memuat sanksi administratif pada pemegang IUP yang berkewajiban menyampaikan RKAB.
Kejati sudah menindak YSM, mengkualifikasikan tindakan YSM sebagai tindak pidana korupsi. Sehingga penetapan Tersangka dan Penahanan dilakukan. Penegakan hukum atas tindak pidana korupsi tengah berjalan, sebagaimana semangat pembentukan UU PTPK, yang lebih mengutamakan prinsip Premium Remedium dalam proses penegakan hukumnya.
***
Pengaturan tentang pembayaran PNBP tertuang dalam Pasal 30 ayat (1) UU PNBP “Wajib Bayar wajib membayar PNBP Tertuang ke Kas Negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri”. Berkait dengan sanksi pembayaran PNBP terbagi menjadi tiga, yakni sanksi atas terlambat bayar, kurang bayar dan tidak bayar.
Terhadap terlambat bayar dikenakan sanksi administratif sebagaimana ketentuan Pasal 22 PP 58/2020, dan ketentuan terhadap kurang bayar ditentukan dalam Pasal 35 ayat (2) PP 58/2020, sedangkan sanksi terhadap perusahaan yang tidak membayar PNBP khususnya PNBP PKH dikenakan sanksi pencabutan izin sebagaimana termuat pada ketentuan Pasal 70 ayat (1) huruf c jo. Pasal 30 ayat (2) huruf b Permen LHK 27/2018.
Khusus mekanisme Penagihan PNBP PKH, PP 58/2020 mensyaratkan adanya surat tagihan kepada Wajib Bayar. Surat tagihan tersebut terdiri dari surat tagihan pertama, kedua dan ketiga (Vide Ps. 44). Kewenangan menerbitkan surat tagihan tersebut sepenuhnya diberikan kepada Pimpinan Instansi Pengelola PNBP atau Pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP. Dalam hal surat penagihan ketiga sudah dilayangkan kepada Wajib Bayar, namun Wajib Bayar tidak membayarkan PNBP kepada negara, Pimpinan Instansi Pengelola PNBP menerbitkan surat penyerahan tagihan PNBP kepada instansi yang berwenang mengurus piutang negera.
Dalam menyelesaikan urusan piutang negara, instansi yang diberikan kewenangan adalah Panitia Urusan Piutang Negara. Olehnya itu, tidaklah ditemukan dalam regulasi terkait bahwa Institusi Kejaksaan diberikan kewenangan untuk menagih tunggakan PNBP PKH PT. Toshida.
***
Berkaitan dengan kasus ini, tentunya carut-marut pengelolaan PNBP-PKH yang tengah terjadi menjadi catatan penting. Sebab PNBP-PKH merupakan salah satu sumber penerimaan negara terbesar. Pemenuhan kewajiban pembayaran PNBP-PKH menjadi salah satu dasar persetujuan RKAB harusnya menjadi koentji untuk menagih kewajiban wajib bayar untuk membayarkan PNBP-PKH kepada negara.
Namun faktanya, Kejati Sultra menemukan adanya indikasi korupsi berkait dengan tunggakan pembayaran PNBP-PKH dan terbitnya RKAB PT. Toshida. Setelahnya, kasus tersebut menyisahkan pekerjaan bagi Jaksa Penuntut Umum untuk membuktikan dugaan terjadinya tindak pidana korupsi tersebut.
Akhirnya, Penulis berpandangan dalam kasus aquo terjadi titik singgung penerapan hukum yakni tindak pidana korupsi dan tindak pidana dibidang PNBP.
Oleh : La Ode Muhammad Dzul Fijare. (Merupakan Eks. Ketua BEM FH-UHO 2017-2018).