
Dimana-mana, pemberitaan media, ditetangga kita, bahkan orang di rumah kita sendiri, sering mengalami suatu ketidakadilan hukum. Mulai dari pidana ringan, hingga extra ordinary crime. Hukum di Negara ini terlihat seperti tak berideologi Pancasila lagi. Cenderung tertarik ke kutub materialistik, dimana uang, kepentingan, kekuasaan menjadi penentu atas keberpihakan hukum. Hingga adil menjadi kata lain dari deal kepada penegak hukum.
Tak berlebihan jikalau ideologi Pancasila sebagai jiwa hukum kini mulai menjadi pepesan kosong. Keadilan Sosial tak lebih dari anganangan. Irah-irah “Demi Keadilan berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa” hanya sebagai simbolitas, rentetan aksara yang melabeli justifikasi keadilan oleh oknum-oknum Penegak Hukum kita yang tak bermoral. Pasal-pasal pun dijadikan komoditi, keadilan terlalu rumit untuk ditegakkan dan tak ada orang lain yang keji untuk berwenang melakukan itu selain Penegak Hukum itu sendiri. Yah, Penegak Hukum.
Penegak Hukum dan Modalitas Moralnya
Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak disebutkan defenisi Lembaga Penegak Hukum, Penegak Hukum. Jadi, tidak bisa direstriktifkan sempit sebatas pemahaman umum-lumrah pada oknum di Criminal Justice System, yakni polisi, jaksa, dan hakim saja. Penegak Hukum tidak terbatas pada orang-orang yang berkecimpung dalam profesi advokat, oknum di lembaga Kepolisian, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Otoritas Jasa Keuangan, Badan Pengawas Pasar Modal, Direktorat Jenderal Imigrasi, Kejaksaan, serta Satpol PP. Penegak Hukum adalah aparat yang melaksanakan proses upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Oleh Satjipto Rahardjo, idealnya penegak hukum adalah orang-orang yang putih bersih (squeaky clean), yang menjalankan tugasnya memang atas dasar panggilan jiwa. Penegak Hukum mesti berdiri diatas modalitas moral yang mesti selalu diperkuat. Modalitas moral tersebut adalah empati, kejujuran, komitmen, dan keberanian. Dalam ajaran Hukum Progresifnya ini, ia memang mengangkat faktor manusia-penegak hukum sebagai faktor utama dalam jalannya hukum. Tentu manusianya, sebab manusia itu sendiri yang mampu membentuk-mempola-merubah system dan membangun kultur hukum yang baik. Sebagaimana secara fungsional hukum itu berlaku, menurut L.Friedman.
Dalam kewenangan Penegak Hukum, ruang menegakan hukum berbasis moralitas diatas sebenarnya telah tersedia, sebagaimana cara berhukum tidak hanya menggunakan rasio, melainkan juga dengan sarat kenuranian (compassion). Disinilah pintu masuk bagi sekalian modalitas seperti empati, kejujuran, komitmen, dan keberanian. Dengan demikian berbicara mengenai Penegakan Hukum dapat dikait-eratkan dengan soal moralitas dan nurani pengadilan (conscience of the court), nurani kejaksaan, nurani advokat, dan sebagainya. Kesepakatan kita adalah ditangan Penegak hukum yang baik hukum yang buruk pun akan menjadi baik. Sebab hukum hanyalah rentetan benda mati aksara yang diterjemahkan oleh nurani Penegak Hukum.
Dalam menggunakan rasio, penegak hukum tak bermoral sering bersembunyi dengan mendefenisikan pasal – pasal dalam kungkungan postivisme. Apa kata pasal itulah hukum yang adil menurut mereka. Padahal, kutub pemikiran positivisme yang kokoh digawangi oleh Hans Kelsen bermuara pada basis moralitas itu sendiri. Bangunan pasal-pasal adalah cerminan yang direkonstruksikan berdasar perilaku masyarakat yang dibiasakan hingga menjadi norma sosial. Norma sosial itulah yang disebut moral yang berada dalam ruang kognisi dan presepsi masyarakat. Bagaimanapun pasal-pasal adalah kristalisasi dari moral yang mesti ditegakan dengan muatan moral pula. Ia disusun dalam kondisional, namun semestinya diterjemahkan situasional. Jadi sebenarnya, tidak ada jalan untuk menegakan hukum dengan cara amoral.