Perempuan Indonesia yang Simbolik Oleh Evi S. Moehiddin )*

Bacakan

Bagi orang Indonesia, bulan April menyimpan kenangan khusus yang mengendap berdasarkan timeline memory selama bertahun-tahun. Seorang ibu —yang kemudian menjadi sahabat saya sampai hari ini,  pernah menceritakan kisah menyentuh tentang dirinya, anak lelakinya, dan seorang guru muda bimbingan-konseling.

Sahabat saya itu bernama Anita, berusia awal 30-an, bekerja sebagai tenaga administrasi di lembaga pemerintah dengan status kontrak kerja, berwajah tirus yang menarik, juga berhijab dengan tubuh yang agak kurus. Anita seorang yang gampang tersenyum. Kerap ia menawarkan penganan kepada para orangtua yang sedang menunggui anak mereka pulang sekolah. Selain Anita, kisah ini juga tentang Ana, seorang guru muda berusia akhir 20-an. Ana masih melajang dengan gelar Sarjana Psikologi Anak yang sudah berpraktek selama setahun di sekolah dasar itu. Penampilannya tentu saja menarik dengan gigi putih yang rapi dan senyum tipis yang selalu menghiasi bibirnya.

-Advertisement-

Hari itu, Ana mendapati Anita sedang termenung; kemurungan menghiasi matanya. Tak seperti biasanya, Anita juga tak menawarkan apapun kepada para orangtua yang sedang menunggui anak mereka.  Ketidakbiasaan itu membangkitkan keingintahuan Ana.

Seusai saling menyapa, Ana mencoba menanyakan ihwal yang membuat perangai Anita berubah di hari itu. Anita sedang merisaukan Adit, putranya yang saat itu duduk di kelas 5 Sekolah Dasar. Adit telah mengeluhkan pelajaran yang diterimanya di sekolah. Adit dan teman-temannya diberi tugas bercerita dalam narasi mereka sendiri tentang kepahlawanan Raden Ajeng Kartini dalam membela hak-hak kaum perempuan untuk mendapatkan pendidikan yang sama dengan kaum lelaki. Tetapi hingga batas akhir pengumpulan tugas selama sepekan itu, Adit belum menulis apapun. Anita telah berupaya membantunya dengan beberapa buku referensi mengenai kisah hidup R.A. Kartini. Adit pun telah ia beri pemahaman mengenai karakter Kartini berdasarkan referensi-referensi itu. Namun, tetap saja Adit belum bisa memulai apapun.

Kondisi putranya itu tentu saja merisaukan Anita. Adit bukan tak paham bagaimana menuliskan pendapatnya. Ia bisa melakukannya sejak kelas 3 SD dan apa yang ia tulis dengan mudah dipahami konteksnya. Namun kondisi yang sedang dialami Adit itu memberi gambaran kepada Anita bahwa gagasan keperempuanan belum menjadi perhatian yang intens di usia didik semuda Adit. Ini tentu merisaukan sekaligus menarik untuk dipelajari.

Tiga Era Perempuan Nusantara

Isu keperempuanan sesungguhnya sudah menjadi bagian pergumulan emosional orang-orang di Nusantara—bahkan menjadi perhatian di berbagai belahan dunia—sebelum kelahiran Indonesia sebagai sebuah negara. Eropa memang terlambat menyadari dan mengetahui bagaimana kebangunan karateristik perempuan Nusantara yang berbeda sesuai latar belakang budaya dan jamannya. Isu keperempuanan wanita di Nusantara memasuki tiga era yang menggugah.

Sebelum era Kartini di Jawa Tengah, di era pertama, dunia sudah dikejutkan dengan kemunculan Laksamana Keumalahayati yang memimpin Armada Laut Kerajaan Aceh-Pasai membentengi pesisir Barat Samudera Hindia dan memimpin peperangan melawan invasi kerajaan dan negara lain di laut Aceh. Perbincangan tentang Keumalahayati sudah ramai di Eropa dan Asia Tengah tentang sosoknya sebagai Panglima Tentara Pasai, bahkan jauh sebelum Joan of Arc lahir dan kemudian memimpin pasukan Perancis melawan Britania.

Di era kedua, dunia kembali dikejutkan dengan memunculan Collie Pujie (Ratna Kencana), seorang raja wanita dari Kedatuan Luwuk, yang kerja-kerjanya di bidang kesusasteraan melampaui ekspektasi para sarjana sastra Eropa, Asia, dan Asia Tengah. Collie Pujie berhasil merampungkan penerjemahan epos La Galigo ke dalam bahasa Belanda dan Inggris yang ia kerjakan selama 12 tahun. Dua buku itu kemudian menjadi bahan kajian dan perbincangan di berbagai universitas ternama di Eropa dan Asia. Epos La Galigo menjadi epos terpanjang di dunia mengalahkan epos Ramayana dari India dan epos Socrates dari Yunani.

Di era ketiga, di mana kemunculan Kartini ditandai dengan diterbitkannya kumpulan suratnya kepada Abendanon, sahabatnya yang tinggal di Amsterdam, dunia kembali harus membincangkan eksistensi perempuan Nusantara. Sebenarnya, era di mana Kartini hidup, adalah bagian terakhir di era ketiga—di saat yang hampir persis sama, bermunculan pula para pendobrak kemapanan di dunia perempuan, seperti Dewi Sartika dari Jawa Barat dan Nyai Ahmad Dahlan di Jawa Timur.

Di titik ini, kita seharusnya mengenal lebih serius para tokoh keperempuanan itu. Mereka seharusnya menjadi bagian dari cerita-cerita kita di lingkungan akademis, di obrolan para aktivis emansipasi, menjadi opsi utama saat membahas situasi pergerakan sosial di Indonesia, dan dalam obrolan kecil antara para ibu kepada anak-anaknya. Tetapi, semua kondisi itu masih harus kita nantikan. Sebab, kita hampir tidak menemukan kisah mereka diceritakan di sekolah-sekolah dasar, menengah lanjutan dan menengah atas, bahkan lebih jauh lagi; di lingkungan dengan atmosfir akademik ketat semacam universitas, akademi, dan institut.

Sebagai seorang psikolog anak, Ana mencermati dan berupaya solutif terkait masalah Adit itu. Pertanyaan intinya;bagaimana mengatasi masalah Adit? Untuk memulai proses konseling, Ana telah meminta izin keperwalian kelas 5di mana Adit diampu. Di ruangnya, Ana akan menghabiskan dua jam berbicara banyak hal bersama Adit.

Dari Adit, banyak informasi yang kemudian diperoleh Ana. Kesulitan terbesar bagi anak usia didik seperti Adit adalah kemampuan para tenaga pengajar mengakselerasi materi didik sesuai dengan isu yang disodorkan. Anak didik seusia Adit bisa saja menerima referensi yang mudah diperoleh melalui berbagai buku atau artikel, tetapi kesulitan terbesarnya bukan pada seberapa banyak referensi itu diberikan, namun seberapa intens informasi diberikan secara benar dan terarah.

Hanya dengan mendorong Kartini semata-mata, maka kita tak sedang berbicara tentang emansipasi wanita.Namun memperkenalkan kehidupan semua tokoh wanita di Indonesia akan mendorong isu keperempuanan tereduksi dengan baik di benak setiap anak didik. Menjadikan Kartini sebagai perlambangan sosok perempuan Indonesia tidak akan cukup dan lengkap. Sebaliknya, membincangkan semua perempuan hebat Nusantara akan membentuk karateristik implikatif dalam kepala setiap orang tentang Perempuan Indonesia. (*)

)* Penulis adalah Pemerhati Perempuan dan Sosial

Facebook Comments