Kebakaran Kapal di Kendari, KSOP Harus Bertanggung Jawab

Aparat kepolisian memadamkan sisa api yang membakar badan KM Izhar di Perairan Tapulaga Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe. (Dok Polda Sultra)
Bacakan

Kendari, Inilahsultra.com – Peristiwa kebakaran kapal hingga merenggut tujuh nyawa manusia menyisakan duka sekaligus tanda tanya.

Pasalnya, data korban masih simpang siur. Lembaga yang kompeten dalam hal peristiwa nahas ini menyampaikan data berbeda soal jumlah manifest kapal.

Kepala Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Kendari Benyamin Ginting memperkirakan sekitar 69 penumpang di kapal tersebut.

-Advertisement-

Sedangkan data Basarnas Kendari yang terbaru, jumlah korban yang dievakuasi sebanyak 61 orang. Itu termasuk yang meninggal tujuh orang dan dinyatakan hilang enam orang (dua data tambahan).

Sementara itu, pihak Polda Sultra menyebut, sekitar 80 orang ada di kapal tersebut sebelum dilalap si jago merah.

Perbedaan data, khususnya di KSOP mengundang kecurigaan atas ketidakbecusan lembaga ini dalam mengawasi sistem pelayaran di Kendari.

Sekjen Geo Maritim Sultra Jain Umar menyebut, aktivitas keberangkatan maupun kedatangan kapal sudah menjadi otoritas KSOP untuk mengetahuinya. Baik, kapasitas muatan kapal, kelaikan kapal untuk berangkat hingga barang yang boleh diangkut.

“Aneh kalau KSOP hanya memperkirakan. Padahal, data manifest harusnya mereka kantongi,” kata Jain Umar saat dihubungi Minggu 18 Agustus 2019.

Biasanya, lanjut Jain, KSOP mengecek jumlah penumpang sebelum kapal itu berangkat. Setelah memastikan kelaikan hingga penumpang sesuai kapasitasnya, maka baru bisa dibolehkan untuk berlayar.

“Pastinya, KSOP mengeluarkan surat pemberitahuan berlayar. KSOP juga harus ikut mengecek kelaikan kapal. Kalau tidak laik, tidak boleh diberangkatkan,” jelasnya.

Kelebihan muatan kapal dari jumlah seharusnya, sudah sering terjadi di depan mata warga Sultra. Kasus terbakarnya KM Izhar merupakan bagian kecil dari sekelumit persoalan di tubuh KSOP Kendari.

Salah satu contoh yang sering ditemukan adalah penumpang kapal dari Kendari-Raha-Baubau.

“Bisa dikatakan, beberapa kali penumpang membeludak di kapal tersebut. Tapi, apakah ada tindakan Syahbandar?,” kata Jain.

Harusnya, KSOP sebagai pemegang otoritas pelayaran memberikan jaminan keselamatan kepada penumpang dengan lebih dulu mengecek kelaikan kapal, termasuk jumlah manifest.

“Aneh juga kalau KSOP tidak pegang data manifest,” tuturnya.

Menurut Jain, peristiwa terbakarnya kapal KM Izhar menjadi pelajaran bagi Syahbandar untuk lebih ketat mengawasi pelayaran kapal penumpang. Sebab, risiko nyawa warga tergantung pengawasan yang dilakukan oleh KSOP.

“Jadi, bukan hanya pemilik kapal yang bertanggung jawab. Syahbandar juga harus bertanggung jawab atas masalah ini. Mereka cenderung lalai terhadap keberangkatan kapal tersebut,” tekannya.

Sementara itu, Kepala KSOP Kendari Benyamin Ginting menolak dikatakan lalai dalam persoalan ini. Padahal, berdasarkan sertifikat keselamatan, KM Izhar hanya bisa memuat 33 penumpang.

Syarat ini berbeda dua kali lipat dibandingkan dengan jumlah korban yang dievakuasi usai kejadian yang jumlahnya sebanyak 69 orang (data KSOP).

Terhadap hal ini, Benyamin lebih menyalahkan nakhoda kapal yang lebih mengejar keuntungan dibanding keselamatan.

“Kalau persoalan kecolongan, saya kira tidak. Tapi ini kecurangan. Harusnya nakhoda tidak boleh curang. Nakhoda tidak berpikir keselamatan penumpang tapi cari keuntungan. Yang diutamakan harusnya keselamatan,” kata Benyamin membela lembaganya.

Ia menyebut, KM Izhar mengajukan permohonan surat pemberitahuan berlayar (SPB) pada sore Jumat 16 Agustus 2019.

Berdasarkan jadwal, kapal ini harusnya berangkat pada pukul 05.00 subuh Sabtu 17 Agustus 2019. Hanya saja, kata dia, nakhoda malah mencuri waktu dengan berlayar lebih dini pada Jumat malam.

“Dia berangkatnya tidak seharusnya malam, harusnya subuh pukul 05.00. Tapi dia berangkat 23.30. Pertanyaannya, kenapa lebih awal berangkatnya? Nanti kita akan tanya nakhoda. Dan kapan ini penumpang naik,” tuturnya.

Dalam aturan, kata dia, SPB yang dikeluarkan KSOP berlaku 24 jam. Namun, bila kapal berangkat di luar jadwal yang biasanya, maka nakhoda harusnya melapor lebih dulu tentang perubahan jadwal keberangkatan itu.

“Dalam surat persetujuan berlayar berlaku 24 jam, artinya nakhoda bisa curi waktu berlayar. Harusnya, terkonfirmasi ulang kalau di luar jadwal supaya ada pengecekan lebih lanjut di petugaas lapangan,” tuturnya.

Ia berdalih, perubahan jadwal keberangkatan ini luput diketahui oleh petugasnya di lapangan. Sebab, KSOP hanya tahu pada saat mengeluarkan SPB termasuk jadwal berangkatnya yang rutin.

“Ketika memberikan SPB berarti ada pengawas,” ujarnya.

Menurut dia, SPB yang dikeluarkan KSOP tidak masalah karena pada saat pengajuan, nakhoda menyatakan kapal tersebut laik jalan.

Namun, informasi yang diperoleh Inilahsultra.com, kapal tersebut sempat rusak dan diperbaiki. Kerusakkan ini luput dari pantauan KSOP.

“Saya belum dapat informasi kalau kapal rusak. Kalau diajukan SPB maka kondisi kapalnya siap karena nakhoda buat surat pernyataan bahwa kondisi mesin baik, termasuk jumlah awaknya,” tuturnya.

Dari keterangan sejumlah penumpang yang ditemui Inilahsultra.com, pada saat kejadian, tak ada penumpang yang mengenakan life jacket. Padahal, jaket pelampung ini wajib diberikan oleh pihak kapal sebelum berlayar.

Terhadap masalah ini, Polsek Soropia telah memeriksa empat anak buah kapal (ABK) dan satu kapten. Selain itu, polisi juga akan meminta keterangan dari KSOP terkait pemberian izin berlayar kapal tersebut.

“Pasti lah kita akan minta juga keterangannya (KSOP). Kita sementara lagi memeriksa dulu ABK dan kaptennya,” tutur Kapolsek Soropia Iptu Sopyan, Sabtu 17 Agustus 2019.

Penulis : La Ode Pandi Sartiman

Facebook Comments