
Kendari, Inilahsultra.com – Nama blok Matarape kembali hangat diperbincangkan setelah Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sultra Saharuddin mengungkap dugaan praktik penambangan ilegal di blok berstatus quo tersebut.
Saharuddin memperlihatkan berberapa video dan foto hasil kunjungannya di Blok bekas PT Inco yang kini status quo.
Saharuddin menyebut, meski menyandang status quo, Blok Matarape malah diolah dan kandungan nikelnya diuruk dan diangkut ke industri pemurnian. Aktivitas ini juga, kata Saharuddin, belum ada tindakan dari aparat kepolisian.
Padahal fakta di lapangan, menurut dia, alat berat perusahaan sangat mudah ditemui. Jalan umum di Kecamatan Langgikima Kabupaten Konawe Utara yang berwarna merah bekas lintasan truk memuat ore.
“Tidak mungkin tidak ditahu. Itu jalanan umum dan orang dengan mudah untuk mengaksesnya,” ungkap Saharuddin.
Menurut Udin, ada tujuh titik yang sementara diolah secara ilegal. Luasannya sudah mencapai 100 hektare dan kedalaman tanah merah yang diuruk antara 15 sampai 25 meter.
Udin menyebut, perusahaan ilegal secara masif menguruk nikel antara Maret sampai hari ini. Artinya, mereka mengolah secara ilegal di atas tanah negara di tengah pandemi virus corona.
Informasi lain yang diperoleh Udin, sudah lima kali pengapalan dilakukan oleh perusahaan dan anehnya diloloskan oleh Syahbandar Molawe.
“Kami anggap ada pembiaran oleh kepolisian secara institusi, Dinas ESDM, Dinas Kehutanan dan Syahbandar,” jelas Udin.
Beberapa lembaga yang disebut Udin bukan perkara baru untuk disorot. Carut marut persoalan tambang ilegal di Sultra hampir tidak sampai di meja sidang.
Padahal, kepolisian beberapa kali menyegel sejumlah alat berat perusahaan dan lokasi yang diduga terjadi kejahatan lingkungan.
Khusus di Blok Matarape, sebut Udin, pernah dipasang papan informasi oleh Bareskrim Polri tentang larangan untuk beraktivitas di lokasi tersebut. Namun, plang informasi itu hanya fotmalitas saja. Faktanya, penambang ilegal bebas menjarah di sana.
Status Quo
Sebelum dinyatakan status quo, Blok Matarape melalui perjalanan yang berliku di tangan pemerintah.
Dikutip dari Bisnis Indonesia, Blok Matarape seluas 1.681 hektare awalnya milik PT Vale. Namun, berdasarkan amandemen Kontrak Karya (KK) Vale dan pemerintah yang diteken pada 2014, PT Vale harus melepas lahannya ke pemerintah. Dalam amandemen tersebut, PT Vale sepakat untuk mengurangi wilayahnya dari 190.510 hektare menjadi 118.435 hektare. Lahan yang dilepas itu diserahkan ke negara kurang lebih delapan blok.
Enam blok kemudian dilelang oleh perintah sebagai Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK).
Pertama adalah Bahodopi Utara seluas 1.896 hektare. Nilai Kompensasi Data Informasi (KDI) wilayah tambang ini Rp 184 miliar. Komoditas yang dihasilkan wilayah ini yakni nikel.
Kedua, wilayah tambang nikel Matarape seluas 1.681 hektare dengan KDI sebesar Rp 184.05 miliar.
Ketiga, Latao di Kolaka Utara dengan luas 3.148 hektare. Pemerintah menetapkan KDI sebesar Rp 414,8 miliar untuk wilayah tambang nikel ini. Keempat, wilayah tambang nikel Suasua di Kolaka Utara seluas 5.899 hektare dengan KDI Rp 984,85 miliar. Kelima, tambang nikel Kolondale di Sulawesi Tengah seluas 2.189 hektare, dengan KDI Rp 209 miliar. Keenam, tambang batu bara Rantau Pandan seluas 2.826 hektare, dengan nilai KDI Rp 352,6 miliar.
Dalam perjalanannya, Kementerian ESDM menetapkan Antam sebagai pemenang lelang di WIUPK Bahadopi dan Matarape.

Antam mendapatkan kepastian mendapatkan kedua blok tersebut pada 1 Agustus 2018 untuk Blok Bahodopi Utara, dan 21 Agustus 2018 untuk Blok Matarape. Berdasarkan Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 1805.K/30/MEM/2018 tentang Harga KDI dan informasi penggunaan lahan WIUP dan WIUPK periode tahun 2018.
Setelah Kementerian ESDM menetapkan Antam sebagai pemenang, Pemerintah Daerah Sultra dan Sulawesi Tengah mengajukan keberatan ke Ombudsman.
Berdasarkan hasil pemeriksaan, Ombudsman menemukan empat maladministrasi dalam lelang Blok Matarape dan Blok Bahodopi.
Dikutip dari Kontan.id, Poin pertama maladministasi tersebut adalah penetapan WIUPK.
Mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2010, wilayah tambang harus diubah menjadi Wilayah Pencadangan Negara (WPN) terlebih dahulu. Penetapan WPN harus melalui persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kemudian, setelah melalui WPN, bisa ditetapkan sebagai WIUPK dengan mempertimbangkan aspirasi dari pemerintah daerah.
Poin kedua, seharusnya WIUPK Operasi Produksi tidak bisa berubah statusnya menjadi WIUPK eksplorasi. Ini mengacu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batu Bara.
Ketiga, maladministasi mengenai peserta lelang. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Sulawesi Tenggara yakni PD Konosara sebenarnya telah memenuhi persyaratan finansial dan terpilih sebagai pemenang lelang. Namun, Kementerian ESDM membatalkan pemenangan tanpa penjelasan.
Keempat, BUMD PT Pembangunan Sulawesi Tengah tidak diberikan kesempatan melakukan evaluasi ulang terhadap dokumen yang diberikan kepada pemerintah. Seharusnya, jika BUMD belum melengkapi dokumen, pemerintah berhak memberikan kesempatan kepada BUMD untuk melengkapinya.
Ombudsman Republik Indonesia telah menyerahkan Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) terhadap lelang blok tambang yang dilakukan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Berdasarkan temuan itu, Ombudsman pun menyarankan Kementerian ESDM untuk membatalkan keputusan Nomor 1802 K/30/MEM/2018 tentang WIUP dan WIUPK periode 2018.
Terhadap LAHP Ombudsman itu, Kementerian ESDM membatalkan keputusannya. Antam pun belum bisa mendapatkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) eksplorasi dari dua blok tambang yang dimenangkannya.
Menurut Udin, dengan dicabutnya keputusan pemenang lelang itu, maka lahan di Blok Matarape dinyatakan status quo dan dikembalikan ke negara. Artinya, tidak boleh ada pihak yang mengolah di wilayah itu sebelum dinyatakan sebagai pemenang lelang.
“Tapi mereka sudah menggali dan mengambil ore (menambang), dari temuan itu Walhi berpendapat bahwa telah menjadi pembiaran yang dilakukan Polri, dinas pendapatan, dinas ESDM, Dinas Lingkungan Hidup dan Syahbandar,” jelas Saharuddin.
Menurut Udin, harusnya polisi menangkap para penambang karena melakukan ilegal mining.
Ia juga meminta puhak ESDM harusnya mengeluarkan rekomendasi untuk menghentikan aktivitas di wilayah itu.
Menurut Udin, ESDM tidak bisa melepas tangan begitu saja tanpa melakukan tindakan nyata di Blok tersebut. Sebab, sebelum dimuat di kapal tongkang, pasti mengantongi surat keterangan verifikasi (SKV) yang diterbitkan Dinas ESDM Sultra.
“Karena untuk diloloskan berlayar oleh Syahbandar pasti punya SKV. Dinas ESDM juga punya kepala teknik tambang (KTT) dan pasti mengetahui itu,” jelasnya.
Selain bermasalah pada proses pengurukan hingga pemuatan di kapal, Udin juga mengungkap adanya kejahatan lingkungan di sektor Kehutanan.

Menurutnya, di wilayah Blok Matarape statusnya hutan produksi. Harusnya, sebelum melakukan aktivitas, perusahaan harus mengantongi izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH). Bagi Udin, IPPKH ini sudah pasti tidak dikantongi karena jelas mereka beraktivitas di wilayah terlarang.
“Kehutanan juga pasti tahu ada aktivitas di dalam kawasan hutan tak berizin. Kenapa mereka membiarkan itu,” katanya.
Selain aktivitas perambahan hutan di sektor pertambangan dan perkebunan, Udin juga menyoroti adanya aktivitas ilegal logging di daerah itu.
Udin menyebut, kondisi hutan di Konut tengah krisis. Sekarang tinggal tersisa 30 persen dari total keseluruhan wilayah Konut. Artinya, hutan di Konut sudah capai ambang batasnya dan 70 persen telah dialihfungsikan untuk kepentingan korporasi tambang, sawit ditambah lagi ilegal logging.
Dengan berbagai pelanggaran yang berujung pada kerusakan lingkungan, membuat Konawe Utara terus dihantui bencana banjir setiap tahunnya.
Penulis : Pandi