Pol PP Pukul Mahasiswa saat Demo Kasus Sengketa Lahan Sawit dan Transmigran

Seorang mahasiswa dipukuli oknum Satpol PP Pemprov Sultra

Kendari, Inilahsultra.com – Puluhan mahasiswa dan masyarakat yang mengatasnamakan diri Aliansi Pegiat Agraria Sulawesi Tenggara(A-P-A-Sultra) menggelar demonstrasi di Kantor Gubernur Sultra, Senin 4 Maret 2019.

Namun, demo yang awalnya adem-adem saja, berujung pada bentrokan antara massa dan Satuan Polisi Pamong Praja dibantu aparat kepolisian.

Seorang mahasiswa terlihat dikeroyok oleh puluhan Satpol PP saat berebut ban bekas yang dibakar depan pintu masuk Kantor Gubernur Sultra. Keributan akhirnya mereda, setelah kedua belah pihak saling menahan diri.

-Advertisement-

Demo massa ini terkait dengan persoalan konflik agrarian antara perusahaan sawit PT Merbau dengan warga transmigran di UPT Arongo Kabupaten Konawe Selatan.

Shiffu Mbadha selaku jenderal lapangan mengatakan, pada 24 September 2018, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 86 tahun 2018 tentang Reforma Agraria yang berisi tentang teknis pelaksanaan Reforma Agraria.

Dalam peraturan tersebut, pemerintah di tiap-tiap daerah diwajibkan untuk membentuk gugus tugas percepatan pelaksanaan reforma agraria. Terkhusus, di wilayah Sulawesi Tenggara gugus tugas tersebut sudah terbentuk sejak tahun 2018 yang di dalamnya melibatkan beberapa pihak yang memiliki keterkaitan dengan masalah agraria.

“Namun dalam perjalanannya, progres dari gugus tugas tersebut belum menjawab berbagai permasalahan agraria di Sulawesi Tenggara, terkhusus penyelesaian konflik agraria yang semakin hari semkin meningkat,” katanya.

Berbagai konflik Agraria yang terjadi di Sulawesi Tenggara sampai saat ini belum menjadi prioritas penyelesian oleh pemerintah Daerah maupun gugus tugas yang ada sebagai agenda Reforma Agraria di pemerintahan bapak Joko Widodo.

“Konflik-konflik yang kami maksud di antaranya, konflik masyarakat vs kawasan hutan, konflik masyarakat vs korporasi, konflik wilayah adat, konflik transmigrasi vs korporasi seperti yang terjadi di Kabupaten Konawe Selatan dan beberapa Kabupaten yang ada di Sulawesi Tenggara,” jelasnya.

Selain konflik agraria, permasalahan lain yang dianggap paling krusial adalah masalah ketimpangan struktur penguasaan tanah antara rakyat dan pemilik konsesi perkebunan skala besar maupun pertambangan. Hal ini tentunya berdampak pada semakin sempitnya penguasaan tanah rakyat dan semakin jauhnya akses rakyat terhadap sumber-sumber agraria.

Untuk itu, mereka mendesak Gubernur Sultra untuk segera membentuk gugus tugas reforma agraria (GTRA) yang melibatkan keterwakilan masyarakat sipil.
“Meminta kepada Gubernur Sultra untuk menuangkan agenda reforma agraria dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Pemerintah Sulawesi Tenggara,” desaknya.

Selain itu, mereka juga meminta kepada DPRD Sultra untuk memediasi masalah-masalah agraria di Sultra, termasuk mendorong keterbukaan infrormasi tentang hak guna usaha dan perizinan lainnya sebagai hak konsumsi publik atau masyarakat umum.

“Meminta kepada DPRD Sultra untuk meninjau keterbukaan informasi kerja-kerja Badan Pertanahan Nasional dan Dinas Kehutanan dalam pelaksanaan reforma agraria di Sulawesi Tenggara.Meminta kepada DPRD Sultra untuk meninjau kembali atau menghentikan izin-izin konsesi perkebunan atau pertambangan di Sultra,” pungkasnya.

Penulis : La Ode Pandi Sartiman

Facebook Comments