Pilkada dan Perangkap ASN

Komisaris Bank Sultra La Ode Rahmat Apiti. (Istimewa)

Oleh : La Ode Rahmat Apiti

ASN dalam berbagai perhelatan politik selalu menjadi sorotan fenomenal sebab ASN masih menjadi “mesin” politik primadona untuk dijadikan tim sukses.

Mesin birokrasi begitu “ampuh” bila menjadi tim sukses. Jejaringnya sampai ke pelosok desa sehingga para kandidat akan menempuh berbagai cara untuk mengutak atik aparatur sipil negara.

-Advertisement-

Sejak zaman orde baru, ASN menjadi “pemain” utama dalam menjalankan misi politik. Kebiasaan ini masih digetoli oleh politisi untuk menggunakan abdi negara dalam menyalurkan hasrat politik penguasa.

Musim politik ASN menjadi lirikan kandidat untuk digarap khusus menjadi “tim”. Kekuatan birokrasi sangat “seksi” di mata politisi.

Keseksian kekuatan mesin ASN tidak bisa menahan “kehornian” politik politisi untuk melibatkan mesin birokrasi. Godaan politisi yang menggiurkan mengakibatkan ASN “terangsang” untuk terlibat dalam politik praktis.

Fenomena keterlibatan ASN dalam setiap pilkada sulit untuk dihindari walaupun negara sudah menertibkan ASN untuk tidak terlibat sebagaimana telah diatur dengan UU Nomor 5 tahun 2014, PP no 42/2004 tentang kode etik PNS, PP nomor 53 tahun 2010 tentnag disiplin PNS dna SE Menpan RB.

UU 5/2014 tentang ASN (Pasal 2 huruf d) dalam penyelenggaraan kebijakan dan manajemen ASN berdasarkan atas asas netralitas yang dimaknai bahwa setiap pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh atau kepentingan manapun.

Lalu di PP 42/2004 tentang kode etik PNS (pasal 6 huruf h), nilai-nilai dasar yang harus dijunjung tinggi oleh PNS meliputi: profesionalisme, netralitas dan bermoral tinggi.

Kemudian, SE MenPAN RB (Pasal 11 huruf c), PNS wajib menghindari konflik kepentingan pribadi, kelompok atau golongan. Maka PNS dilarang melakukan perbuatan yang mengarah pada keberpihakan salah satu calon atau perbuatan yang mengindikasikan terlibat dalam politik praktis/berafiliasi dalam partai politik.

Regulasi di atas dengan tegas melarang ASN untuk tidak menceburkan diri dalam politik praktis. Namun fenomena di lapangan justru ASN masih menjadi “primadona” untuk dijadikan mesin politik dan atau tim sukses.

Menurut hemat penulis ada beberapa “pemicu” yang mengakibatkan ASN terlibat yakni ;

Pertama. Godaaan Kandidat.
Para kandidat menggalang kekuatan ASN untuk menjadi tim sukses terselubung dengan kompensasi jabatan jabatan strategis bila terpilih. Bagi-bagi jabatan untuk ASN yang jadi “kurir” politik pilkada merupakan hadiah utama yang akan diberikan bagi ASN.

Kedua. ASN yang mencari jabatan. ASN tipe ini bekerja secara politik atas inisiasi individu dengan harapan akan mendapatkan jabatan “basah” bila calon dukungannya menang.

Ketiga. ASN yang kecewa. ASN yang “menjelma” jadi relawan politik biasanya melakukan perlawanan terhadap cabub incumben karena kecewa dan atau tidak puas dengan kinerja incumben selama menjabat.

ASN tipe ini biasanya barisan sakit hati yang tidak mendapatkan jabatan walaupun memiliki prestasi dan atau memenuhi syarat secara kepangkatan.

Tiga-tipe ASN di atas menjadi fenomena di kabupaten/kota yang akan menggelar pilkada pada Desember 2020. Untuk itu, regulator harus memberikan sanksi tegas bagi ASN yang terbukti terlibat dalam politik. Dan kita berharap pilkada akhir tahun ini keterlibatan ASN dalam politik bisa di minimalisir bila semua pihak memantau pergerakan ASN.

Penulis adalah Direktur Aman Center

Facebook Comments