
Kendari, Inilahsultra.com – Pimpinan Wilayah (PW) Gerakan Pemuda (GP) Ansor Sulawesi Tenggara (Sultra) menggelar kegiatan workshop penguatan moderasi beragama dengan melibatkan sejumlah pemuda dan mahasiswa di Kota Kendari.
Ketua PW GP Ansor Sultra, Pendais Haq mengatakan, penguatan moderasi beragama berkaitan dengan pemahaman keagamaan yang moderat dan toleran. Dimana di dalamnya membangun basis pemahaman, pengetahuan, komitmen dan hakikat serta nilai-nilai agama yang tinggi.
“Tentunya menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan, membangun sikap persamaan, serta menanamkan nilai ajaran agama yang saling menghargai satu sama lain,” kata Pendais Haq di Sekretariat PW GP Ansor Sultra, Minggu 14 November 2021.
Perlu adanya penguatan nilai-nilai kebangsaan. Melakukan revitalisasi tentang empat pilar kebangsaan Indonesia yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Setelah itu penguatan hubungan dan toleransi umat beragama. Dan penguatan kearifan lokal.
“Pada dasarnya penguatan moderasi beragama harus tertanam dalam kehidupan. Apalagi saat ini banyak paham-paham kegamaan yang keluar dari ajaran islam dan keluar dari nilai-nilai terkandung dalam Pancasila,” ujar dia.
Tambah dia, ada dua permasalahan soal paham keagamaan. Pertama, bermasalah secara aqidah. Kedua, bermasalah secara konstitusi.
“Jika aqidah lemah maka akan mempengaruhi kayakinan kita. Disitulah kemudian muncul permasalahan soal paham keagamaan. Sedangkan bermasalah secara konstitusi berarti menentang Pancasila dan UUD 1945,” ungkap Pendais.
Sementara itu, Kepala Seksi Bina Paham Keagamaan Islam Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, Kementerian Agama RI, Idrianto Faishal mengungkapkan, ada tiga tantangan aktual keagamaan kebangsaan yaitu berkembangnya cara pandang, sikap dan praktik beragama yang berlebihan (ekstrim) dengan mengesampingkan martabat kemanusiaan.
Berkembangnya klaim kebenaran subyektif dan pemaksaan kehendak atas tafsir agama serta pengaruh kepentingan ekonomi dan politik berpotensi memicu konflik. Dan berkembangnya semangat beragama yang tidak selaras dengan kecintaan berbangsa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Dalam dokumen persaudaraan kemanusian Abu Dhabi Declaration 4 Februari 2019 disebutkan jika musuh kita saat ini sesungguhnya adalah ekstremisme akut, hasrat saling memusnahkan, perang, intoleransi serta rasa benci diantara sesama manusia yang semuanya mengatasnamakan agama,” ucap Idrianto.
Dalam konteks lokal di era reformasi, sambung Idrianto, sebagai konsekuensi demokratis, muncul dua kutub ektrem dalam keberagaman yaitu terlalu ketat dalam memahami teks-teks keagamaan (parsial dan tekstual. Dan terlalu longgar karena pembacaan yang terlalu bebas dan liberal.
Reporter : Haerun