
Kendari, Inilahsultra.com – Pemilik Rumah Makan Kampung Mangrove, Siti Hasnah Demmangasing ditetapkan tersangka atas pelanggaran tata ruang yang berada dikawasan hutan kota, dan ruang terbuka hijau (RTH) di Teluk Kendari.
Penetapan tersangka berdasarkan surat yang dikeluarkan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional bernomor: SP-01/Tap-PPNS Penataan Ruang/XI/2021. Tentang pemberitahuan penetapan tersangka Siti Hasnah Demmangasing.
Penetapan tersangkat tersebut berawal dari aduan dari pemerintah kota (Pemkot) Kendari dengan laporan pengaduan nomor: LP/01/II/2021/PUPR-PR tanggal 26 Februari 2021.
Kuasa hukum pemilik Rumah Makan Kampung Mangrove, Supriadi mengatakan, penetapan kliennya sebagai tersangka karena adanya aduan yang dilakukan oleh Dinas PUPR Kota Kendari dengan Laporan Pengaduan nomor LP/01/II/2021 PUPR-PR tertanggal 26 Februari 2021.
Atas aduan tersebut, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kementrian Agraria dan Tata Ruang (ATR) menetapkan Siti Hasnah Demmangasing sebagai tersangka atas pelanggaran kawasan tata ruang dikawasan hutan kota, dan ruang terbuka hijau.
“Saya konfirmasi ke penyidik pusat itu,
pemeriksaan sampai penetapan tersangka itu karena adanya aduan dan dari PUPR Kota Kendari. Jadi awalnya ada aduan dari pemerintah kota atas pelanggaran tata ruang klien saya,” kata Supriadi belum lama ini.
Supriadi, meminta pemerintah kota Kendari tidak tebang pilih menindak pelanggar kawasan tata ruang di ibukota provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra).
Sebenarnya, lanjut Supriadi, tidak mempersoalkan jika kliennya diproses hukum atas dugan pelanggaran kawasan tata tuang. Harusnya pemerintah kota melalui Dinas PUPR tidak pilih kasih dalam melakukan tindakan atau proses semua pelanggar tata ruang.
“Silahkan proses hukum, tetapi jangan tebang pilih aturan diterapkan. Kenapa cuman satu difokuskan kepada klien saya. Padahal banyak yang lebih fatal yang melanggar dan ini harus berlaku adil untuk menetapkan tersangka secara keseluruhan,” katanya.
Supriadi mengungkapkan, masyarakat maupun pelaku usaha yang melanggar tata ruang di wilayah hutan kota dan ruang terbuka hijau tapi diabaikan atau dibiarkan oleh pemerintah kota.
“Kalau berbicara wilayah kawasan banyak yang melanggar, termasuk Rumah Sakit Alia 2, pertamina. Ada lagi Kampung Bakau itu kawasan mangrove semua, kenapa hanya kami yang difokuskan,” ungkapnya.
Padahal, kata Supriadi, kliennya melakukan pembagunan di atas hak milik sendiri berdasarkan hak milik tanah. Dalam Undang-undang Hukum Agraria Nomor 5 tahun 1960 jelas mengatur hal tersebut baik bukti fisik maupun yuridis.
“Penetapan tersangka itu sangat merugikan klienya sebagai pemilik bangunan di atas hak milik sendiri. Usahanya ditutup lalu ditetapkan tersangka, sementara yang lain dibiarkan,” ungkapnya.
Selain itu, kliennya rutin membayar kewajiban pajak penghasilan bulan maupun Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tahunan kepada negara. Sehingga ini sangat aneh dengan penetapan tersangka tersebut.
“Rumah makan klien saya bayar pajak penghasilan bulanan, ada bukti aslinya. Berarti pemerintah mengakui bahwa di tempat itu dibangun rumah makan secara legal, tetapi disisi lain kenapa dianggap dia ilegal dan ditetapkan tersangka,” tutupnya.
Reporter : Haerun