Kendari, Inilahsultra.com – Dalam memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) yang jatuh setiap 10 Desember, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sulawesi Tenggara menggelar aksi di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sultra.
Direktur Eksekutif WALHI Sultra Saharuddin menyebut, awal periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo menunjukkan kondisi penegakan hak asasi manusia belum ada tanda perbaikan.
Pada periode sebelumnya bahkan banyak kalangan menilai bahwa kondisi HAM di Indonesia mengalami kemunduran termasuk kebebasan masyarakat sipil mengalami penyempitan.
“Pelanggaran atas hak-hak para pembela HAM, dalam lima tahun belakangan ini, bikin khawatir termasuk terjadinya kekerasan, penyiksaan, pelarangan terhadap kebebasan berekspresi, pembubaran terhadap kegiatan berkumpul para aktivis, kriminalisasi dengan tuduhan yang mengada-ada, tindakan represif aparat keamanan terhadap para demonstran, hingga dugaan kuat pembunuhan terhadap pembela HAM,” kata Saharuddin dalam keterangannya, Selasa 10 Desember 2019.
Ia menyebut, pada Januari 2014 – November 2019, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perlindugan Pembela HAM (Koalisi Pembela HAM) mencatat setidaknya 73 kasus pelanggaran terhadap para pembela HAM termasuk 23 kasus pada tahun 2019.
Bentuk pelanggaran yang paling dominan adalah kriminalisasi dengan 31 kasus. Pelaku yang paling banyak melakukan pelanggaran terhadap hak-hak para pembela HAM adalah aparat kepolisian dengan 27 kasus.
“Sejauh ini, tak terdapat upaya serius dari negara, terutama aparat kepolisian, dalam mengungkap kasus-kasus kekerasan terhadap pembela HAM dan Lingkungan di Indonesia, sehingga pola kekerasan terhadap pembela HAM nyaris sama dan terus berulang, seperti intimidasi, kekerasan yang berkedok kriminal dengan pelaku orang tak dikenal, pembajakan akun media sosial atau telepon genggam, upaya kriminalisasi yang dipaksakan terhadap pembela HAM,” bebernya.
Khusus di Sulawesi Tenggara juga tak terpisahkan dari berbagai tindak kekerasan dan kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan hidup dan HAM.
Banyaknya pelanggaran lingkungan hidup di sektor pertambangan dapat berkontribusi pada hilangnya hak dasar warga Negara, sudah sepatutnya pemerintah mengambil peran utama dalam memastikan perlindungan dan jaminan atas hak dasar itu.
Berdasarkan berbagai pemantauan yang dilandasi kajian serta temuan lapangan maka WALHI Sultra mendesak pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara segera mengevaluasi kebijakan pertambangan.
Diantaranya mendesak pencabutan IUP tambang di pulau-pulau kecil, mencabut IUP tambang batu gamping di Pulau Muna, mencabut izin lingkungan pabrik smelter PT Ceria Nugraha Indotama dan meminta pemerintah mengambil alih semua terminal khusus/jetty/pelabuhan khusus.
“Mengevaluasi semua izin lingkungan yang telah diterbitkan serta mengalokasikan anggaran untuk pemantauan dan pengawasan pengelolaan lingkungan. Ketiga, mencabut izin lingkungan bagi semua badan usaha yang tidak menjalankan rekomendasi AMDAL, tidak taat menyampaikan laporan periodik (semester) pengelolaan dan pemantauan lingkungan,” tuturnya.
Khusus soal tambang batu gamping di Muna, pria yang akrab disapa Udin ini menyebut punya landasan terkait bahaya industrialisasi karst di Pulau Muna meliputi, Muna, Muna Barat dan Buton Tengah.
Ia menyebut, karst adalah sebuah bentuk permukaan bumi yang pada umumnya dicirikan dengan adanya depresi tertutup (closed depression), drainase permukaan, dan gua. Daerah ini dibentuk terutama oleh pelarutan batuan, kebanyakan batu gamping.
“Kawasan karst merupakan ekosistem unik yang mempunyai peran ekologis penting di alam,” jelasnya.
Ia melanjutkan, kawasan karst menjadi penjamin ketersediaan air bersih melalui danau dan sungai bawah tanahnya, berperan sebagai regulator iklim dalam bentuk reservoir karbon dalam bentuk batuan karbonat, penyimpan informasi lingkungan masa lalu, dan menjadi habitat bagi flora dan fauna unik dan bahkan endemik yang telah berevolusi sehingga dapat beradaptasi dengan kondisi karst.
“Tidak hanya peran ekologisnya yang signifikan, kawasan-kawasan karst di Indonesia juga menyimpan catatan sejarah perkembangan budaya umat manusia dari ribuan tahun lalu,” bebernya.
Keunggulan ekologis dan peran budayanya ini membuat kawasan-kawasan karst di Indonesia didorong untuk masuk dalam daftar Warisan Dunia UNESCO. Hingga saat ini Pemerintah Indonesia telah menominasikan kawasan karst Sangkurilang Mangkalihat dan karst Maros-Pangkep untuk menjadi Warisan Dunia UNESCO.
Perlindungan terhadap kawasan karst tidak boleh terfragmentasi, tidak boleh hanya melindungi satu dua goa yang dianggap memiliki artefak sejarah, atau hanya melindungi sebagian ponor atau sungai bawah tanahnya. Kawasan karst harus dipandang sebagai suatu kesatuan ekosistem yang utuh, saling berkaitan dan mempengaruhi satu sama lain, sehingga jika ingin melindunginya, harus melindungi keseluruhan ekosistem.
“Eksploitasi pada sebagian areal karst akan mempengaruhi karst sebagai sebuah ekosistem. Kawasan karst pun harus diposisikan sebagai ekosistem esensial yang bernilai konservasi tinggi, sehingga dimanapun lokasi terdapatnya karst ini, ia harus selalu dilindungi,” tuturnya.
Sayangnya, kata Udin, Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 (UU No. 5/1990) tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya tidak mengenal dan mengakomodasi perlindungan terhadap ekosistem esensial ini, sehingga kawasan karst yang tidak berada di dalam Kawasan Suaka Alam atau Kawasan Pelestarian Alam minim perlindungan.
Perlindungan terhadap karst saat ini masih bertumpu pada Kementerian ESDM yang menetapkannya sebagai cagar geologi dimana penetapan dan pengelolaan cagar geologi itu pun tidak mengacu pada UU No. 5/1990.
“Jika Pemerintah Indonesia tak serius dalam melindungi kawasan karst, baik dalam hal perbaikan peraturan perundang-undangan, kebijakan investasi yang diambil hingga penegakan hukum, maka cita-cita menjadikan kawasan karst Indonesia sebagai Warisan Dunia UNESCO. Bisa jadi sebelum UNESCO sempat menetapkannya sebagai Warisan Dunia, kawasan ini sudah kehilangan fungsi ekologis dan nilai budaya yang dibanggakannya,” pungkasnya.
Terhadap aspirasi WALHI Sultra ini, Wakil Ketua DPRD Sultra Nursalam Lada akan menggelar hearing pada pekan depan dengan memanggil pihak terkait.
Penulis : Pandi