
Kendari, Inilahsultra.com – Mengharap penegakan hukum di sektor pertambangan sangat lah sulit. Sebab, kebanyakan, perusahaan tambang yang beroperasi mendapatkan back up dari oknum aparat. Entah dari TNI atau pun Polri.
Hal ini diungkapkan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sultra Saharuddin, saat ditemui di kantornya, Selasa 12 Februari 2019.
Pria yang akrab disapa Udin ini mengaku, gebrakan yang dilakukan oleh Kepala Bidang Minerba ESDM Sultra Yusmin, patut diapresiasi. Paling tidak, informasi yang disampaikan menunjukkan ada progres di ESDM Sultra.
“Selama ini kita lihat, IUP bekerja terus tapi tidak ada kontrol dari pemerintah. Dan menjadi peringatan juga bagi para pengusaha yang melakukan aktivitas yang illegal akan berpikir ulang,” ungkap Udin mengapresiasi sikap Yusmin.
Temuan ESDM ini, merupakan hal yang perlu disikapi bersama. Kasus yang sudah kompleks seperti ini, sudah menjadi bagian level kementerian karena ada dugaan syahbandar ikut bermain dengan persoalan pengangkutan ore secara illegal.
“Ini harus didudukan dulu, Gubernur Sultra harus mengundang para pihak untuk koordinasi soal ini,” katanya.
Menurut dia, yang dilakukan Yusmin merupakan langkah maju dari ESDM yang mau terbuka ke publik terhadap aktivitas perusahaan tambang yang nakal.
“Ini sangat jauh yang dilakukan selama ini dan bahkan tidak pernah ada keributan di ESDM Sultra. Mungkin banyaknya permainan,” katanya.
Informasi yang sudah beredar ini pun, peniting untuk dikawal bersama. Namun, dalam perjalananya, sudah pasti akan teradang berbagai kepentingan. Udin ibaratkan, dalam urusan tambang tidak lah gampang karena melibatkan bukan orang sembarangan.
“Banyak juga orang tidak senang. Memang urusan pertambangan berat,” jelasnya.
Yang menjadi kekhawatiran saat ini paska informasi yang beredar ini adalah adanya upaya kriminalisasi dan upaya paksa terhadap yang mengungkap borok pengelolaan tambang di Sultra.
Sebab, ada banyak kasus, tokoh yang mengungkap kasus tambang harus mendapatkan terror hingga pembunuhan seperti nasib Salim Kancil.
Penegakan Hukum Sulit Diharap
Berdasarkan hasil kajian Walhi dan KontraS, penegakkan hukum sulit dilaksanakan dalam kasus pertambangan. Sebab, hampir semua institusi penegak hukum bermasalah soal tambang.
“Karena sebagian dari mereka (oknum aparat) terlibat. Kalau boleh dibilang punya IUP,” ujarnya.
Adanya oknum penegak hukum yang ikut terlibat dalam sektor ini, memunculkan keraguan dari publik dalam penuntasan kasus pertambangan.
Sebab, rata-rata pemilik IUP banyak berlatar belakang militer dan kepolisian.
“Kalau dibuka dokumen perusahaan, itu banyak. Di Sultra hampir 40 persen dan diback up (oknum aparat),” bebernya.
Aparat yang dimaksud Udin, bisa diidentifikasi. Ada beberapa bertugas di Jakarta, bahkan di daerah.
“Kita sudah lakukan kajian bersama KontraS, bagaimana pertambangan ada bisnis oknum militer di situ,” tambahnya.
Lantas apakah KPK sudah harus turun?
Menurut Udin, KPK boleh turun, selain menegakkan hukum, ikut pula melakukan supervise kepada kejaksaaan dan kepolisian dalam hal penegakan hukum sektor pertambangan.
Namun demikian, hadirnya KPK di daerah sama saja memberikan penilaian buruk terhadap institusi kepolisian yang tidak bisa berbuat apa-apa pada kasus ini.
“Kalau KPK turun, hanya akan memotong praktik hukum yang biasa dilakukan polisi dan jaksa selama ini,” katanya.
Berdasarkan data hasil koordinasi dan supervisi (korsub) bersama KPK, jumlah tambang di Sultra yang harusnya dicabut sebanyak 80 IUP dari total 243 IUP.
Itu pun, 80 IUP ini baru bermasalah pada sektor administrasi. Belum pada konteks pelanggaran lingkungan hingga aktivitas penambangan illegal.
“Daerah yang paling besar tambangnya, di Kolaka Utara, Konawe Utara dan Bombana,” pungkasnya.
Penulis : La Ode Pandi Sartiman